Perkembangan ilmu
radologi dimulai sejak ditemukannya sinar-x oleh Prof William Conrad Rontgen
pada tanggal 8 Nopember 1895, sedangkan di Indonesia ilmu radiologi baru
berkembang pada tahun 1950, dengan dibukanya bagian radiologi di Rumah Sakit
Dr. Cipto Mangunkusumo yang pada waktu itu masih bernama CBZ dan dipimpin oleh
Prof. Dr.Vanderplats serta Prof Knoch, radiolog dari Belanda, bersama-sama
dengan beberapa dokter dari Indonesia diantaranya Prof. Yohanes, Prof
Siwabessy, Prof.H.B. Syahrial Rasyad dan
Prof. Dr. H. Gani Ilyas.
Sedangkan tenaga
operator pada saat itu direkrut dari tenaga-tenaga perawat senior yang dilatih
untuk mengoperasikan alat rontgen dan atau sumber radiasi lainnya.
Didalam perkembangannya ternyata bahwa ilmu dan teknologi di bidang radiologi, berkembang sangat pesat sehingga dirasakan perlu untuk mendidik tenaga radiografer secara formal.
Didalam perkembangannya ternyata bahwa ilmu dan teknologi di bidang radiologi, berkembang sangat pesat sehingga dirasakan perlu untuk mendidik tenaga radiografer secara formal.
Pada tahun 1954 pertama
kali dibuka pendidikan formal Asisten Rontgen dengan siswa yang diambil dari
lulusan Sekolah Menengah Pertama, pendidikan ini berlangsung sampai tahun 1968
dengan lokasi tempat pendidikan di RS. Dr.Cipto Mangunkusumo.
Perkembangan ilmu dan
teknologi terus berkembang termasuk juga penelitian-penelitian dalam bidang
radiologi yang dilaksanakan oleh International Atomic Energy Association (IAEA)
tentang akibat negatif yang ditimbulkan oleh radiasi pengion, maka ada beberapa
rekomendasi. Salah satu rekomendasi tersebut diantaranya adalah pekerja radiasi
harus berumur sekurang-kurangnya 18 tahun, hal tersebut juga tersurat pula pada UU No.60 tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Tenaga
Atom yang juga mengatur tentang pemakaian radiasi sinar-x yang digunakan untuk industri
maupun untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
Indonesia yang telah
turut menandatangani Konvensi International tentang pemakaian tenaga atom untuk
kepentingan perdamaian dan kesejahteraan umat harus mengikuti semua rekomendasi
yang dikeluarkan oleh Badan Tenaga Atom International. WHO melalui Departemen
Kesehatan melakukan persiapan-persiapan untuk meningkatkan pendidikan formal
tenaga kesehatan bidang radiologi dengan melakukan kegiatan seminar yang pada
waktu itu disebut Up Grading. Pertemuan yang dibiayai oleh WHO, dan pada waktu
itu WHO diwakili oleh 2 orang tenaga ekspert pendidikan tenaga radiografer
yaitu Mr. Gordon Ward berkebangsaan Kanada dan Miss Spiers yang berkebangsaan
Australia.
Dari
hasil beberapa kali up grading, tersusunlah suatu program pendidikan formal
berjenjang setingkat Akademi yang disebut Akademi
Penata Rontgen (APRO) yang didirikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 041/I-AU/B.V/70, tanggal 28 Januari 1970. Struktur dan tata laksana kerja organisasi pendidikan tidak
lagi dilaksanakan oleh RS. Dr.Cipto Mangunkusumo, tetapi dilaksanakan langsung
oleh Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Kurikulum yang ditetapkan pada
saat itu adalah kurikulum yang diadop dari kurikulum pendidikan formal tenaga
radiografer di Inggris dan Kanada, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara Indonesia pada saat itu,
dan tenaga pengajarnya adalah para profesi tenaga kesehatan diantaranya adalah
dokter spesialis radiologi, dokter umum, perawat, insinyur elektro.
Untuk menyiapkan tenaga
pengajar bidang radiologi dengan bantuan WHO telah dikirim beberapa radiografer
senior dari institusi pendidikan untuk mengikuti program pendidikan dosen
radiografi (Teacher Learning) ke Inggris selama 2 tahun, dari program tersebut
telah lulus pendidikan dosen radiografi sebanyak 4 orang.
Pada tahun akademik
1969/1970 Institusi pendidikan Akademi Penata Rontgen, hanya membuka program
pendidikan radiodiagnostik, dan pada tahun berikutnya dibuka program radioterapi
sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan akan pelayanan radioterapi. Program
radioterapi berlangsung terus sampai tahun 1987, disebabkan karena kebutuhan
akan tenaga pelayanan dianggap telah mencukupi. Keadaan tersebut dikarenakan
pengembangan ilmu dan teknologi radioterapi di Indonesia kurang pesat
dibandingkan dengan perkembangan ilmu dan teknologi radiodiagnostik, saat itu
hanya ada 4 rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan radioterapi.
Dalam perkembangan dan
perjalanannya Akademi Penata Rontgen telah melakukan revisi program pendidikan
yaitu menjadi Pendidikan Ahli Madya
Radiodiagnostik dan Radioterapi (PAMRAD) berdasarkan SK Menkes No.
095/Menkes/SK/II/91 tanggal 11 Februari 1991. Selanjutnya menjadi Akademi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi (ATRO)
berdasarkan SK Menkes No. 536/Menkes/SK/VII/1993 tanggal 10 Juli 1993. Tahun
2001 berkembang menjadi Jurusan Teknik
Radiodiagnostik dan Radioterapi Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta II, berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial No : 298/MenKes dan
KesSos/SK/IV/2001, tertanggal 16 April 2001.
Lokasi kampus Akademi
Penata Rontgen yang awal berdirinya berada di bagian radiologi FKUI/RSCM,
terpaksa harus pindah ke gedung Depkes lainnya di jalan Percetakan Negara
karena adanya perkembangan fisik rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Beberapa
tahun menempati lokasi tersebut, pada tahun 1989 dengan bantuan biaya Bank Dunia diresmikan penggunaan kampus
terpadu di jalan hang Jebat III Blok F-3 Kebayoran baru Jakarta selatan, dimana
salah satu bangunan gedung diperuntukan untuk kampus Akademi Teknik Radiodiagnostik
dan Radioterapi Depkes, yang namanya menjadi Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan
Radioterapi Poltekkes Kemenkes Jakarta II.
Ikhlas Bekerja
KIAT BEKERJA DARI HATI
Tiga Jenis Kecerdasan:
1. Intelligence Quotient (IQ)
Sebuah skor IQ menunjukkan tingkat dari beberapa kemampuan dasar tertentu, yang sebagian besar diyakini diwariskan, yaitu kemampuan spasial, numerikal dan linguistik. Namun, karena IQ merupakan satu-satunya indikator kecerdasan yang terukur, skor ini dipandang menunjukkan keseluruhan kecerdasan seseorang. Skor IQ jarang mengalami perubahan besar dalam hidup seseorang. IQ adalah Kecerdasan Formal.
2. Emotional Quotient (EQ)
Daniel Goleman, penemu EQ mendifinisikan EQ sebagai kesanggupan untuk memperhitungkan atau menyadari situasi tempat kita berada, untuk membaca emosi orang lain dan emosi kita sendiri, dan untuk bertindak dengan tepat. Karena betapapun tinggi IQ seseorang, jika ia memiliki EQ yang rendah maka orang itu akan mengalami banyak hambatan dalam berinteraksi dengan sesama rekan kerja maupun orang lain. EQ adalah Kecerdasan Adaptif
3. Spiritual Quotient (SQ)
Kecerdasan yang digagas oleh Danah Zohar ini ditemukan berdasarkan hasil riset neurologis yang menunjukkan bahwa otk memiliki ”Q” atau jenis kecerdasan yang ketiga. Yaitu kecerdasan yang kita gunakan ketika kita mencoba memahami makna hidup yang lebih dalam, nilai-nilai fundamental, dan kesadaran akan adanya tujuan yang abadi dalam hidup kita. SQ mengajak kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan hakiki: Mengapa saya dilahirkan? Apa makna hidup saya? Mengapa saya mencurahkan hidup saya pada pekerjaan saya saat ini?
Apa yang sesungguhnya ingin saya capai melalui proyek ini atau dengan hidup saya?. SQ adalah Kecerdasan Transformatif.
Bekerja Dari Hati: Mengawinkan Kerja dan Doa
Bekerja Dengan Kekuatan Sendiri sambil merasa selalu dibantu oleh Tuhan.
Perasaan yang menyenangkan ini merupakan hasil alamiah ketika seseorang berhasil menggunakan ketiga jenis kecerdasannya IQ-EQ-SQ secara seimbang.
Mereka adalah orang-orang yang benar-benar percaya diri dan mereka yang tidak lagi membedakan antara kerja dan doanya. Karena dia benar-benar menghayati pemahaman bahwa saat dia berdoa sebenarnya dia juga sedang bekerja-keras di dalam hati (inner-work). Dan saat di bekerja sesungguhnya dia sedang khusyuk mendzikirkan doa melalui aktifitas bahasa-tubuhnya (outer-work).
Orang seperti inilah yang mengerti siapa dirinya, hubungannya dengan sesama, dengan alamnya dan dengan Tuhannya. Pada hakekatnya inilah arti sesungguhnya dari istilah PD atau Percaya Diri.
12 Ciri Orang atau Organisasi dengan Kecerdasan Spiritual (SQ) Tinggi
- Kesadaran-diri. Mengetahui apa yang diyakininya dan mengetahui nilai serta hal apa yang sebenarnya memotivasinya> Kesdaran akan tujuan hidupnya yang paling dalam.
- Spontanitas. Menghayati setiap momen dan melakukan respons alamiah atas yang terjadi pada momen itu.
- Terbimbing oleh visi dan nilai. Brtindak berdasarkan prinsip dan keyakinan yang dalam, dan hidup sesuai dengannya.
- Holisme. (kesadaran akan sistemdan konektivitas). Kesanggupan untuk melihat pola hubungan dan keterkaitan yang lebih luas atas segala sesuatunya.
- Kepedulian. Sifat ”ikut merasakan” dan empati yang dalam yang mendasari simpati universal.
- Merayakan Keragaman. Menghargai perbedaan orang lain dan situasi asing tanpa mencercanya.
- Independensi-terhadap-lingkungan. Kesanggupan untuk berbeda dan percaya-diri.
- Kebiasaan untuk mengajukan pertanyaan mendasar, mengapa? Kebutuhunan untuk memahami segala sesuatu dan mengenal intisarinya.
- Kemampuan untuk membingkai-ulang. Berpijak pada problem/situasi yang ada untuk mencari gambaran/konteks yang lebih luas.
- Memanfaatkan kemalangan secara positif. Kemampuan untuk mengahadapi dan belajar dari kesalahan, untuk melihat problem sebagai kesempatan belajar.
- Rendah hati. Perasaan menjadi pemeran dalam sebuah cerita-kehidupan yang besar. Perasaan mengetahui peran/tempat sesungguhnya didunia ini.
- Rasa keterpanggilan. ”Rasa terpanggil” untu melayani sesuatu yang lebih besar dibanding kepentingannya sendiri. Berterima kasih kepada mereka yang menolongnya dan berharap bisa membalas sesuatu kepadanya. Dasar bagi ”pemimpin yang pengabdi” (servant leader).
Dalam usaha untuk senantiasa mengembangkan sifat-sifat ini dalam diri kita, disanalah terletak kemampuan kita untuk menggunakan keseluruhan otak kita; kemampuan mempraktekkan makna terdalam hidup kita; kemampuan berpikir pada saat kacau; kemampuan untuk melakukan transformasi dalam hidup dan pekerjaan. Kemampuan untuk bekerja dari hati.
Dan akhirnya kemampuan untuk menemukan arti bahwa bekerja itu adalah berdoa.
(Copas forget source)
Komentar
Posting Komentar