Langsung ke konten utama

Teknik Radiografi

Ditulis pada Februari 21, 2008 oleh harnawatiaj

A.Definisi dan Etiologi

Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga.. trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan.
B.Mekanisme Cedera
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat-ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat benda tumpul, atau karena terkena lemparan benda tumpul. Cedar perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relative tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersaman bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar pada permukan otak, laserasi substansia alba, cedara robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedaea sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan intracranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.

C.Klasifikasi Cedera Kepala

1.Klasifikasi Patologi Cedera Kepala
a.Cedera kepala primer
Cedera kepal primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal, dan cedera otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme etiologis dan patofisiologi yang unik.
1)Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak, naumun biasanya jejas ini bukan merupakan penyebab utama timbulnya kecacatan neurologis.
2)Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya dijumpai pada kira-kira separuh dari kasus cedera kepala berat. Kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.
3)Cedar otak difusa pada dasarnya berbeda dengan cedera fokal, di mana keadaan ini berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis. Mengingat bahwa kerusakan yang terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson, maka cedar ini juga dikenal dengan cedera aksional difusa.



b.Kerusakan otak sekunder
Cedera kepala berat seringkali menampilkan abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi, di mana keadaan-keadaan ini merupakan penyebab tersering dari kerusakan otak sekunder . hipoksia dan hipotensi semata akan menyebabkan perubahan-perubahan minimal, yang kemusian bersamaan dengan efek cedera mekanis memperberat gangguan-gangguan metabolisme serebral.
Hipoksia dapat merupaka akibat dari kejadian aspirasi, obstyruksi jalan nafas, atau cedera toraks yang terjadi bersamaan dengan trauma kepala, namun sering juga terjadi hipoksia pascacedera kepala dengan ventilasi normal dan tanpa adanya keadaan-keadaan tersebut di atas.
Hipotensi pada penderita cedera kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah konkusi atau merupaka tahap akhir dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan herniasi serebral.
c.Edema serebral
Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepal madalah edema vasogenik dan edema iskemik. Edema vasogenik disebabkan oleh adanya peningkatan oermeabilitas kapiler akibat sawar darah otak sehingga terjadi penimbunan cairan plasma ekstraseluler terutama di massa putih serebral. Edema iskemik merupakan penimbunan cairan intraseluler sehingga sel tersebut tidak dapat mempertahankan keseimbangan cairannya.
Edema serebral yang mencapai maksimal pada hari ke tiga pascacedera, dapat menimbulkan suatu efek massa yang bermakna. Di samping itu edema ini sendiri dapat juga terjadi, tanpa adanya tampilan suatu kontusi atau perdarahan intraserebral. Keadaan ini dapat terjadi akibat gangguan sekunder dari hipotensi sistemik dan hipoksia, cedera arterial atau hipertensi intracranial. Gangguan aliran darah serebral traumayika yang mengakibatkan anoksia jaringan juga tampil sebagai daerah “swelling” hipodens difus.
d.Pergeseran otak(Brain Shift)-herniasi batang otak
Adanya suatu massa yang berkembang membesar (hematom, abses atau pembengkakan otak) di semua lokasi dalam kavitas intracranial (epidural/subdural/intraserebral,supra-/infratentorial)biasanya akan menyebabkan pergeseran dan distorsi otak, yang bersamaan dengan peningkatan intracranial akan mengarah terjadi herniasi otak, keluar dari kompartemen intracranial di mana massa tersebut berada.
2.Klasifikasi Klinis Cedera Kepala
Cedera kepala pada praktek klinis sehari-hari dikelompokkan atas empat gradasi sehubungan dengan kepentingan seleksi perawatan penderita, pemantauan diagnostic-klinik penanganan dan prognosisnya, yaitu :
Tingkat I : bila dijumpai adanya riwayat kehilangan kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengakami trauma, dan kemudian sadar kembali. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik, dan tidak ada deficit neurologist.
Tingkat II : kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintah-perintah yang sederhana, dan dijumpai adanya deficit neurologist fokal.
Tingkat III : kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti perintah (walaupun sederhana)sana sekali. Penderita masih bisa bersuara , namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh gelisah. Respon motorik bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sakit sampai tidak ada respon sama sekali. Postur tubuh dapat menampilkan posisi dekortikasi-deserebrasi.
Tingkat IV : tidak ada fungsi neurologist sama sekali.
Kategori Penentuan Keparahan Cedera Kepala berdasarkan Nilai Glasgow Coma Scale(GCS).
Penentuan keparahan
Deskripsi
Frekuensi
Minor
Sedang
Berat
GCS 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio serebral, hematoma
GCS 9 – 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak
GCS 3 – 8
Kehilanmgan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intracranial.
55 %
24 %
21 %

D.Manifestasi Klinis
Trauma otak mempengaruhi setiap system tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik, dan perubahan tanda vital. Mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan, kejang, dan banyak efek lainnya. Karena cedera SSP sendiri tidak meyebabkan syok, adanya syok hipovolemik menunjukkan kemungkinan cedera multisistem.

E.Evaluasi Diagnostik
F.Penanganan Cedera Kepala
Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat/emergensi didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6 B”, yakni :
1.Breathing
Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan : suction, intubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edem serebri.
2.Blood
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu peninggian tekanan intracranial; sebaliknya tekanan darah yang menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok mhipovolemik akibat perdarahan (yang kebanyakan bukan dari kepala/otak)dan memerlukan tindakan transfusi.
3.Brain
Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik, dan verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi perbaikan/perburukan cedera kepal tersebut, dan bila pada pemantauan menunjukkan adanya perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebnih mendalam mengenai keadaan pupil(ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata.
4.Bladder
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan(pemasangan kateter) mengingat bahwa kandung kemih yang epnuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.
5.Bowel
Seperti halnya di atas, bahwa usus yang penuh juga cenderung untuk meninggikan TIK.
6.Bone
Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi
DIarsipkan di bawah: 9. SYARAF ZONE
TRAUMA MEDULA SPINALIS
PENDAHULUAN
Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu terjadinya fraktur pada tuylang belakang pada tulang belakang ,ligamentum longitudainalis posterior dan duramater bisa robek,bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah kemedula spinalis dapat ikut terputus .
Cedera sumsum tulang belakang merupakan kelainan yang pada masa.

TRAUMATOLOGI

Trauma atau kecelakaan merupakan hal yang biasa dijumpai dalam kasus forensik. Hasil dari trauma atau kecelakaan adalah luka, perdarahan dan/atau skar atau hambatan dalam fungsi organ. Agen penyebab trauma diklasifikasikan dalam beberapa cara, antaralain kekuatan mekanik, aksi suhu, agen kimia, agen elektromagnet, asfiksia dan trauma emboli. Dalam prakteknya nanti seringkali terdapat kombinasi trauma yang disebabkan oleh satu jenis penyebab, sehingga klasifikasi trauma ditentukan oleh alat penyebab dan usaha yang menyebabkan trauma.

Trauma Tumpul
Dua variasi utama dalam trauma tumpul adalah:
1. Benda tumpul yang bergerak pada korban yang diam.
2. Korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam.
Sekilas nampak sama dalam hasil lukanya namun jika diperhatikan lebih lanjut terdapat perbedaan hasil pada kedua mekanisme itu.
Organ atau jaringan pada tubuh mempunyai beberapa cara menahan kerusakan yang disebabkan objek atau alat, daya tahan tersebut menimbulkan berbagai tipe luka.
1. Abrasi
2. Laserasi
3. Kontusi/ruptur
4. Fraktur
5. Kompresi
6. Perdarahan

Abrasi
Abrasi per definisi adalah pengelupasan kulit. Dapat terjadi superfisial jika hanya epidermis saja yang terkena, lebih dalam ke lapisan bawah kulit (dermis)atau lebih dalam lagi sampai ke jaringan lunak bawah kulit. Jika abrasi terjadi lebih dalam dari lapisan epidermis pembuluh darah dapat terkena sehingga terjadi perdarahan. Arah dari pengelupasan dapat ditentukan dengan pemeriksaan luka. Dua tanda yang dapat digunakan. Tanda yang pertama adalah arah dimana epidermis bergulung, tanda yang kedua adalah hubungan kedalaman pada luka yang menandakan ketidakteraturan benda yang mengenainya.
Pola dari abrasi sendiri dapat menentukan bentuk dari benda yang mengenainya. Waktu terjadinya luka sendiri sulit dinilai dengan mata telanjang. Perkiraan kasar usia luka dapat ditentukan secara mikroskopik. Kategori yang digunakan untuk menentukan usia luka adalah saat ini (beberapa jam sebelum), baru terjadi (beberapa jam sebelum sampai beberapa hari), beberapa hari lau, lebih dari benerapa hari. Efek lanjut dari abrasi sangat jarang terjadi. Infeksi dapat terjadi pada abrasi yang luas.
Kontusio Superfisial
Kata lazim yang digunakan adalah memar, terjadi karena tekanan yang besar dalam waktu yang singkat. Penekanan ini menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil dan dapat menimbulkan perdarahan pada jaringan bawah kulit atau organ dibawahnya. Pada orang dengan kulit berwarna memar sulit dilihat sehingga lebih mudah terlihat dari nyeri tekan yang ditimbulkannya.
Perubahan warna pada memar berhubungan dengan waktu lamanya luka, namun waktu tersebut bervariasi tergantung jenis luka dan individu yang terkena. Tidak ada standart pasti untuk menentukan lamanya luka dari warna yang terlihat secara pemeriksaan fisik.
Pada mayat waktu antara terjadinya luka memar, kematian dan pemeriksaan menentukan juga karekteristik memar yang timbul. Semakin lama waktu antara kematian dan pemeriksaan luka akan semakin membuat luka memar menjadi gelap.
Pemeriksaan mikroskopik adalah sarana yang dapat digunakan untuk menentukan waktu terjadinya luka sebelum kematian. Namun sulit menentukan secara pasti karena hal tersebut pun bergantung pada keahlian pemeriksa.
Efek samping yang terjadi pada luka memar antara lain terjadinya penurunan darah dalam sirkulasi yang disebabkan memar yang luas dan masif sehingga dapat menyebabkan syok, penurunan kesadaran, bahkan kematian. Yang kedua adalah terjadinya agregasi darah di bawah kulit yang akan mengganggu aliran balik vena pada organ yang terkena sehingga dapat menyebabkan ganggren dan kematian jaringan. Yang ketiga, memar dapat menjadi tempat media berkembang biak kuman. Kematian jaringan dengan kekurangan atau ketiadaaan aliran darah sirkulasi menyebabkan saturasi oksigen menjadi rendah sehingga kuman anaerob dapat hidup, kuman tersering adalah golongan clostridium yang dapat memproduksi gas gangren.
Efek lanjut lain dapat timbul pada tekanan mendadak dan luas pada jaringan subkutan. Tekanan yang mendadak menyebabkan pecahnya sel – sel lemak, cairan lemak kemudian memasuki peredaran darah pada luka dan bergerak beserta aliran darah dapat menyebabkan emboli lemak pulmoner atau emboli pada organ lain termasuk otak. Pada mayat dengan kulit yang gelap sehingga memar sulit dinilai sayatan pada kulit untuk mengetahui resapan darah pada jaringan subkutan dapat dilakukan dan dilegalkan.
Kontusio pada organ dan jaringan dalam
Semua organ dapat terjadi kontusio. Kontusio pada tiap organ memiliki karakteristik yang berbeda. Pada organ vital seperti jantung dan otak jika terjadi kontusio dapat menyebabkan kelainan fungsi dan bahkan kematian.
Kontusio pada otak, dengan perdarahan pada otak, dapat menyebabkan terjadi peradangan dengan akumulasi bertahap produk asam yang dapat menyebabkan reaksi peradangan bertambah hebat. Peradangan ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran, koma dan kematian. Kontusio dan perangan yang kecil pada otak dapat menyebabkan gangguan fungsi organ lain yang luas dan kematian jika terkena pada bagian vital yang mengontrol pernapasan dan peredaran darah.
Jantung juga sangat rentan jika terjadi kontusio. Kontusio ringan dan sempit pada daeran yang bertanggungjawab pada inisiasi dan hantaran impuls dapat menyebabkan gannguan pada irama jantung atau henti jantung. Kontusio luas yang mengenai kerja otot jantung dapat menghambat pengosongan jantung dan menyebabkan gagal jantung.
Kontusio pada organ lain dapat menyebabkan ruptur organ yang menyebabkan perdarahan pada rongga tubuh.

Laserasi
Suatu pukulan yang mengenai bagian kecil area kulit dapat menyebabkan kontusio dari jaringan subkutan, seperti pinggiran balok kayu, ujung dari pipa, permukaan benda tersebut cukup lancip untuk menyebabkan sobekan pada kulit yang menyebabkan laserasi. Laserasi disebabkan oleh benda yang permukaannya runcing tetapi tidak begitu tajam sehingga merobek kulit dan jaringan bawah kulit dan menyebabkan kerusakan jaringan kulit dan bawah kulit. Tepi dari laserasi ireguler dan kasar, disekitarnya terdapat luka lecet yang diakibatkan oleh bagian yang lebih rata dari benda tersebut yang mengalami indentasi.
Pada beberapa kasus, robeknya kulit atau membran mukosa dan jaringan dibawahnya tidak sempurna dan terdapat jembatan jaringan. Jembatan jaringan, tepi luka yang ireguler, kasar dan luka lecet membedakan laserasi dengan luka oleh benda tajam seperti pisau. Tepi dari laserasi dapat menunjukkan arah terjadinya kekerasan. Tepi yang paling rusak dan tepi laserasi yang landai menunjukkan arah awal kekerasan. Sisi laserasi yang terdapat memar juga menunjukkan arah awal kekerasan.
Bentuk dari laserasi dapat menggambarkan bahan dari benda penyebab kekerasan tersebut. Karena daya kekenyalan jaringan regangan jaringan yang berlebihan terjadi sebelum robeknya jaringan terjadi. Sehingga pukulan yang terjadi karena palu tidak harus berbentuk permukaan palu atau laserasi yang berbentuk semisirkuler. Sering terjadi sobekan dari ujung laserasi yang sudutnya berbeda dengan laserasi itu sendiri yang disebut dengan “swallow tails”. Beberapa benda dapat menghasilkan pola laserasi yang mirip.
Seiring waktu, terjadi perubahan terhadap gambaran laserasi tersebut, perubahan tersebut tampak pada lecet dan memarnya. Perubahan awal yaitu pembekuan dari darah, yang berada pada dasar laserasi dan penyebarannya ke sekitar kulit atau membran mukosa. Bekuan darah yang bercampur dengan bekuan dari cairan jaringan bergabung membentuk eskar atau krusta. Jaringan parut pertama kali tumbuh pada dasar laserasi, yang secara bertahap mengisi saluran luka. Kemudian, epitel mulai tumbuh ke bawah di atas jaringan skar dan penyembuhan selesai. Skar tersebut tidak mengandung apendises meliputi kelenjar keringat, rambut dan struktur lain.
Perkiraan kejadian saat kejadian pada luka laserasi sulit ditentukan tidak seperti luka atau memar. Pembagiannya adalah sangat segera segera, beberapa hari, dan lebih dari beberapa hari. Laserasi yang terjadi setelah mati dapat dibedakan ddengan yang terjadi saat korban hidup yaitu tidak adanya perdarahan.
Laserasi dapat menyebabkan perdarahan hebat. Sebuah laserasi kecil tanpa adanya robekan arteri dapat menyebabkan akibat yang fatal bila perdarahan terjadi terus menerus. Laserasi yang multipel yang mengenai jaringan kutis dan sub kutis dapat menyebabkan perdarahan yang hebat sehingga menyebabkan sampai dengan kematian. Adanya diskontinuitas kulit atau membran mukosa dapat menyebabkan kuman yang berasal dari permukaan luka maupun dari sekitar kulit yang luka masuk ke dalam jaringan. Port d entree tersebut tetap ada sampai dengan terjadinya penyembuhan luka yang sempurna. Bila luka terjadi dekat persendian maka akan terasa nyeri, khususnya pada saat sendi tersebut di gerakkan ke arah laserasi tersebut sehingga dapat menyebabkan disfungsi dari sendi tersebut. Benturan yang terjadi pada jaringan bawah kulit yang memiliki jaringan lemak dapat menyebabkan emboli lemak pada paru atau sirkulasi sistemik. Laserasi juga dapat terjadi pada organ akibat dari tekanan yang kuat dari suatu pukulan seperi pada organ jantung, aorta, hati dan limpa.
Hal yang harus diwaspadai dari laserasi organ yaitu robekan yang komplit yang dapat terjadi dalam jangka waktu lama setelah trauma yang dapat menyebabkan perdarahan hebat.
Kombinasi dari luka lecet, memar dan laserasi
Luka lecet, memar dan laserasi dapat terjadi bersamaan. Benda yang sama dapat menyebabkan memar pada pukulan pertama, laserasi pada pukulan selanjutnya dan lecet pada pukulan selanjutnya. Tetapi ketiga jenis luka tersebut dapat terjadi bersamaan pada satu pukulan.

Fraktur
Fraktur adalah suatu diskontinuitas tulang. Istilah fraktur pada bedah hanya memiliki sedikit makna pada ilmu forensik. Pada bedah, fraktur dibagi menjadi fraktur sederhana dan komplit atau terbuka.
Terjadinya fraktur selain disebabkan suatu trauma juga dipengaruhi beberapa faktor seperti komposisi tulang tersebut. Anak-anak tulangnya masih lunak, sehingga apabila terjadi trauma khususnya pada tulang tengkorak dapat menyebabkan kerusakan otak yang hebat tanpa menyebabkan fraktur tulang tengkorak. Wanita usia tua sering kali telah mengalami osteoporosis, dimana dapat terjadi fraktur pada trauma yang ringan.
Pada kasus dimana tidak terlihat adanya deformitas maka untuk mengetahui ada tidaknya fraktur dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan sinar X, mulai dari fluoroskopi, foto polos. Xero radiografi merupakan teknik lain dalam mendiagnosa adanya fraktur.

Fraktur mempunyai makna pada pemeriksaan forensik. Bentuk dari fraktur dapat menggambarkan benda penyebabnya (khususnya fraktur tulang tengkorak), arah kekerasan. Fraktur yang terjadi pada tulang yang sedang mengalami penyembuhan berbeda dengan fraktur biasanya. Jangka waktu penyembuhan tulang berbeda-beda setiap orang. Dari penampang makros dapat dibedakan menjadi fraktur yang baru, sedang dalam penyembuhan, sebagian telah sembuh, dan telah sembuh sempurna. Secara radiologis dapat dibedakan berdasarkan akumulasi kalsium pada kalus. Mikroskopis dapat dibedakan daerah yang fraktur dan daerah penyembuhan. Penggabungan dari metode diatas menjadikan akurasi yang cukup tinggi. Daerah fraktur yang sudah sembuh tidaklah dapat menjadi seperti tulang aslinya.

Perdarahan merupakan salah satu komplikasi dari fraktur. Bila perdarahan sub periosteum terjadi dapat menyebabkan nyeri yang hebat dan disfungsi organ tersebut. Apabila terjadi robekan pembuluh darah kecil dapat menyebabkan darah terbendung disekitar jaringan lunak yang menyebabkan pembengkakan dan aliran darah balik dapat berkurang. Apabila terjadi robekan pada arteri yang besar terjadi kehilangan darah yang banyak dan dapat menyebabkan pasien shok sampai meninggal. Shok yang terjadi pada pasien fraktur tidaklah selalu sebanding dengan fraktur yang dialaminya.
Selain itu juga dapat terjadi emboli lemak pada paru dan jaringan lain. Gejala pada emboli lemak di sereberal dapat terjadi 2-4 hari setelah terjadinya fraktur dan dapat menyebabkan kematian. Gejala pada emboli lemak di paru berupa distres pernafasan dapat terjadi 14-16 jam setelah terjadinya fraktur yang juga dapat menyebabkan kematian. Emboli sumsum tulan atau lemak merupakan tanda antemortem dari sebuah fraktur.

Fraktur linier yang terjadi pada tulang tengkorak tanpa adanya fraktur depresi tidaklah begitu berat kecuali terdapat robekan pembuluh darah yang dapat membuat hematom ekstra dural, sehingga diperlukan depresi tulang secepatnya. Apabila ujung tulang mengenai otak dapat merusak otak tersebut, sehingga dapat terjadi penurunan kesadaran, kejang, koma hingga kematian.
Kompresi
Kompresi yang terjadi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan efek lokal maupun sistemik yaitu asfiksia traumatik sehingga dapat terjadi kematiaan akibat tidak terjadi pertukaran udara.
Perdarahan
Perdarahan dapat muncul setelah terjadi kontusio, laserasi, fraktur, dan kompresi. Kehilangan 1/10 volume darah tidak menyebabkan gangguan yang bermakna. Kehilangan ¼ volume darah dapat menyebabkan pingsan meskipun dalam kondisi berbaring. Kehilangan ½ volume darah dan mendadak dapat menyebabkan syok yang berakhir pada kematian. Kecepatan perdarahan yang terjadi tergantung pada ukuran dari pembuluh darah yang terpotong dan jenis perlukaan yang mengakibatkan terjadinya perdarahan. Pada arteri besar yang terpotong, akan terjadi perdarahan banyak yang sulit dikontrol oleh tubuh sendiri.Apabila luka pada arteri besar berupa sayatan, seperti luka yang disebabkan oleh pisau, perdarahan akan berlangsung lambat dan mungkin intermiten. Luka pada arteri besar yang disebabkan oleh tembakan akan mengakibatkan luka yang sulit untuk dihentikan oleh mekanisme penghentian darah dari dinding pembuluh darah sendiri. Hal ini sesuai dengan prinsip yang telah diketahui, yaitu perdarahan yang berasal dari arteri lebih berisiko dibandingkan perdarahan yang berasal dari vena.
Hipertensi dapat menyebabkan perdarahan yang banyak dan cepat apabila terjadi perlukaan pada arteri. Adanya gangguan pembekuan darah juga dapat menyebabkan perdarahan yang lama. Kondisi ini terdapat pada orang-orang dengan penyakit hemofili dan gangguan pembekuan darah, serta orang-orang yang mendapat terapi antikoagulan. Pecandu alcohol biasanya tidak memiliki mekanisme pembekuan darah yang normal, sehingga cenderung memiliki perdarahan yang berisiko. Investigasi terhadap kematian yang diakibatkan oleh perdarahan memerlukan pemeriksaan lengkap seluruh tubuh untuk mencari penyakit atau kondisi lain yang turut berperan dalam menciptakan atau memperberat situasi perdarahan.

Cedera Kepala
Cedera Kepala pada Penutup Otak
Jaringan otak dilindungi oleh 3 lapisan jaringan. Lapisan paling luar disebut duramater, atau sering dikenal sebagai dura. Lapisan ini tebal dan lebih dekat berhubungan dengan tengkorak kepala dibandingakan otak. Antara tengkorak dan dura terdapat ruang yang disebut ruang epidural atau ekstradural. Ruang ini penting dalam bidang forensik.
Lapisan yang melekat langsung ke otak disebut piamater. Lapisan ini sangat rapuh, melekat pada otak dan meluas masuk ke dalam sulkus-sulkus otak. Lapisan ini tidak terlalu penting dalam bidang forensik.
Lapisan berikutnya yang terletak antara dura mater dan pia mater disebut arakhnoid. Ruang yang dibentuk antara lapisan dura mater dan arakhnoid ini disebut ruang subdural. Kedalaman ruang ini bervariasi di beberapa tempat. Perlu diingat, cairan otak terdapat pada ruang subarakhnoid, bukan di ruang subdural.
Perdarahan kepala dapat terjadi pada ketiga ruang yaitu ruang epidural, subdural atau ruang subarakhnoid, atau pada otak itu sendiri.
Perdarahan Epidural (Hematoma)
Perdarahan jenis ini berhubungan erat dengan fraktur pada tulang tengkorak. Apabila fraktur mengenai jalinan pembuluh darah kecil yang dekat dengan bagian dalam tengkorak, umumnya arteri meningea media, dapat menyebabkan arteri terkoyak dan terjadi perdarahan yang cepat. Kumpulan darah akhirnya mendorong lapisan dura menjauh dari tengkorak dan ruang epidural menjadi lebih luas. Akibat dari lapisan dura yang terdorong ke dalam, otak mendapatkan kompresi atau tekanan yang akhirnya menimbulkan gejala-gejala seperti nyeri kepala, penurunan kesadaran bertahap mulai dari letargi, stupor dan akhirnya koma. Kematian akan terjadi bila tidak dilakukan terapi dekompresi segera. Waktu antara timbulnya cedera kepala sampai munculnya gejala-gejala yang diakibatkan perdarahan epidural disebut sebagai “lucid interval”
Perdarahan Subdural (Hematoma)
Perdarahan ini timbul apabila terjadi “bridging vein” yang pecah dan darah berkumpul di ruang subdural. Perdarahan ini juga dapat menyebabkan kompresi pada otak yang terletak di bawahnya. Karena perdarahan yang timbul berlangsung perlahan, maka “lucid interval” juga lebih lama dibandingkan perdarahan epidural, berkisar dari beberapa jam sampai beberapa hari. Jumlah perdarahan pada ruang ini berkisar dibawah 120 cc, sehingga tidak menyebabkan perdarahan subdural yang fatal.
Tidak semua perdarahan epidural atau subdural bersifat letal. Pada beberapa kasus, perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang dapat menyebabkan kompresi pada otak, sehingga hanya menimbulkan gejala-gejala yang ringan. Pada beberapa kasus yang lain, memerlukan tindakan operatif segera untuk dekompresi otak.
Penyembuhan pada perdarahan subdural dimulai dengan terjadinya pembekuan pada perdarahan. Pembentukan skar dimulai dari sisi dura dan secara bertahap meluas ke seluruh permukaan bekuan. Pada waktu yang bersamaan, darah mengalami degradasi. Hasil akhir dari penyembuhan tersebut adalah terbentuknya jaringan skar yang lunak dan tipis yang menempel pada dura. Sering kali, pembuluh dara besar menetap pada skar, sehingga membuat skar tersebut rentan terhadap perlukaan berikutnya yang dapat menimbulkan perdarahan kembali. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan pada perdarahan subdural ini bervariasi antar individu, tergantung pada kemampuan reparasi tubuh setiap individu sendiri.
Hampir semua kasus perdarahan subdural berhubungan dengan trauma, meskipun dapat tidak berhubungan dengan trauma. Perdarahan ini dapat terjadi pada orang-orang dengan gangguan mekanisme pembekuan darah atau pada pecandu alcohol kronik, meskipun tidak menyebabkan perdarahan yang besar dan berbahaya. Pada kasus-kasus perdarahan subdural akibat trauma, dapat timbul persarahan kecil yang tidak berisiko apabila terjadi pada orang normal. Akan tetapi, pada orang-orang yang memiliki gangguan pada mekanisme pembekuan darah, dapat bersifat fatal.
Adakalanya juga perdarahan subdural terjadi akibat perluasan dari perdarahan di tempat lain. Salah satu contohnya adalah perdarahan intraserebral yang keluar dari substansi otak melewati pia mater, kemudian masuk dan menembus lapisan arakhnoid dan mencapai ruang subdural.
Perdarahan Subarakhnoid
Penyebab perdarahan subarakhnoid yang tersering ada 5, dan terbagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu yang disebabkan trauma dan yang tidak berhubungan dengan trauma. Penyebabnya antara lain:
1. Nontraumatik:
a. Ruptur aneurisma pada arteri yang memperdarahi otak
b. Perdarahan intraserebral akibat stroke yang memasuki subarakhnoid
2. Traumatik:
a. Trauma langsung pada daerah fokal otak yang akhirnya menyebabkan perdarahan subarakhnoid
b. Trauma pada wajah atau leher dengan fraktur pada tulang servikal yang menyebabkan robeknya arteri vertebralis
c. Robeknya salah satu arteri berdinding tipis pada dasar otak yang diakibatkan gerakan hiperekstensi yang tiba-tiba dari kepala.
Arteri yang lemah dan membengkak seperti pada aneurisma, sangat rapuh dindingnya dibandingkan arteri yang normal. Akibatnya, trauma yang ringan pun dapat menyebabkan ruptur pada aneurisma yang mengakibatkan banjirnya ruang subarakhnoid dengan darah dan akhirnya menimbulkan disfungsi yang serius atau bahkan kematian.
Yang menjadi teka-teki pada bagian forensik adalah, apakah trauma yang menyebabkan ruptur pada aneurisma yang sudah ada, atau seseorang mengalami nyeri kepala lebih dahulu akibat mulai pecahnya aneurisma yang menyebabkan gangguan tingkah laku berupa perilaku mudah berkelahi yang berujung pada trauma. Contoh yang lain, apakah seseorang yang jatuh dari ketinggian tertentu menyebabkan ruptur aneurisma, atau seseorang tersebut mengalami ruptur aneurisma terlebih dahulu yang menyebabkan perdarahan subarakhnoid dan akhirnya kehilangan kesadaran dan terjatuh. Pada beberapa kasus, investigasi yang teliti disertai dengan otopsi yang cermat dapat memecahkan teka-teki tersebut.
Perdarahan subarakhnoid ringan yang terlokalisir dihasilkan dari tekanan terhadap kepala yang disertai goncangan pada otak dan penutupnya yang ada di dalam tengkorak. Tekanan dan goncangan ini menyebabkan robeknya pembuluh-pembuluh darah kecil pada lapisan subarakhnoid, dan umumnya bukan merupakan perdarahan yang berat. Apabila tidak ditemukan faktor pemberat lain seperti kemampuan pembekuan darah yang buruk, perdarahan ini dapat menceritakan atau mengungkapkan tekanan trauma yang terjadi pada kepala.
Jarang sekali, tamparan pada pada sisi samping kepala dan leher dapat mengakibatkan fraktur pada prosesus lateralis salah satu tulang cervical superior. Karena arteri vertebralis melewati bagian atas prosesus lateralis dari vertebra di daerah leher, maka fraktur pada daerah tersebut dapat menyebabkan robeknya arteri yang menimbulkan perdarahan masif yang biasanya menembus sampai lapisan subarakhnoid pada bagian atas tulang belakang dan akhirnya terjadi penggenangan pada ruang subarakhnoid oleh darah. Aliran darah ke atas meningkat dan perdarahan meluas sampai ke dasar otak dan sisi lateral hemisfer serebri. Pada beberapa kasus, kondisi ini sulit dibedakan dengan perdarahan nontraumatikyang mungkin disebabkan oleh ruptur aneurisma.
Tipe perdarahan subarakhnoid traumatic yang akan dibicarakan kali ini merupakan tipe perdarahan yang massif. Perdarahan ini melibatkan dasar otak dan meluas hingga ke sisi lateral otak sehingga serupa dengan perdarahan yang berhubungan dengan aneurisma pada arteri besar yang terdapat di dasar otak.Akan tetapi, pada pemeriksaan yang cermat dan teliti, tidak ditemukan adanya aneurisma, sedangkan arteri vertebralis tetap intak. Penyebab terjadinya perdarahan diduga akibat pecahnya pembuluh darah berdinding tipis pada bagian bawah otak, serta tidak terdapat aneurisma. Terdapat 2 bukti, meskipun tidak selalu ada, yang bisa mendukung dugaan apakah kejadian ini murni dimulai oleh trauma terlebih dahulu. Bukti pertama yaitu adanya riwayat gerakan hiperekstensi tiba-tiba pada daerah kepala dan leher, yang nantinya dapat menyebabkan kolaps dan bahkan kematian.

Kontusio otak
Hampir seluruh kontusio otak superfisial, hanya mengenai daerah abu-abu. Beberapa dapat lebih dalam, mengenai daerah putih otak. Kontusio pada bagian superfisial atau daerah abu-abu sangat penting dalam ilmu forensik. Rupturnya pembuluh darah dengan terhambatnya aliran darah menuju otak menyebabkan adanya pembengkakan dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lingkaran kekerasan dapat terbentuk apabila kontusio yang terbentuk cukup besar, edema otak dapat menghambat sirkulasi darah yang menyebabkan kematian otak, koma, dan kematian total. Poin kedua terpenting dalam hal medikolegal adalah penyembuhan kontusio tersebut yang dapat menyebabkan jaringan parut yang akan menyebabkan adanya fokus epilepsi.
Yang harus dipertimbangan adalah lokasi kontusio tipe superfisial yang berhubungan dengan arah kekerasan yang terjadi. Hal ini bermakna jika pola luka ditemukan dalam pemeriksaan kepala dan komponen yang terkena pada trauma sepeti pada kulit kepala, kranium, dan otak.
Ketika bagian kepala terkena benda yang keras dan berat seperti palu atau botol bir, hasilnya dapat berupa, kurang lebihnya, yaitu abrasi, kontusio, dan laserasi dari kulit kepala. Kranium dapat patah atau tidak. Jika jaringan dibawahnya terkena, hal ini disebut coup. Hal ini terjadi saat kepala relatif tidak bergerak.
Kita juga harus mempertimbangkan situasi lainnya dimana kepala yang bergerak mengenai benda yang padat dan diam. Pada keadaan ini kerusakan pada kulit kepala dan pada kranium dapat serupa dengan apa yang ditemukan pada benda yang bergerak-kepala yang diam. Namun, kontusio yang terjadi, bukan pada tempat trauma melainkan pada sisi yang berlawanan. Hal ini disebut kontusio contra-coup.
Pemeriksaan kepala penting untuk mengetahui pola trauma. Karena foto dari semua komponen trauma kepala dari berbagai tipe kadang tidak tepat sesuai dengan demontrasi yang ada., diagram dapat menjelaskan hubungan trauma yang terjadi.
Kadang-kadang dapat terjadi hal yang membingungkan, dapat saja kepala yang diam dan terkena benda yang bergerak pada akhirnya akan jatuh atau mengenai benda keras lainnya, sehingga gambaran yang ada akan tercampur, membingungkan, yang tidak memerlukan penjelasan mendetail.
Tipe lain kontusio adalah penetrasi yang lebih dalam, biasanya mengenai daerah putih atau abu-abu, diliputi oleh lapisan normal otak, dengan perdarahan kecil atau besar. Perdarahan kecil dinamakan ‘ball hemorrhages’ sesuai dengan bentuknya yang bulat. Hal tersebut dapat serupa dengan perdarahan fokal yang disebabkan hipertensi. Perdarahan yang lebih besar dan dalam biasanya berbentuk ireguler dan hampir serupa dengan perdarahan apopletik atau stroke. Anamnesis yang cukup mengenai keadaan saat kematian, ada atau tiadanya tanda trauma kepala, serta adanya penyakit penyerta dapat membedakan trauma dengan kasus lain yang menyebabkan perdarahan.
Perdarahan intraserebral tipe apopletik tidak berhubungan dengan trauma biasanya melibatkan daerah dengan perdarahan yang dalam. Tempat predileksinya adalah ganglia basal, pons, dan serebelum. Perdahan tersebut berhubungan dengan malformasi arteri vena. Biasanya mengenai orang yang lebih muda dan tidak mempunyai riwayat hipertensi.
Edema paru tipe neurogenik biasanya menyertai trauma kepala. Manifestasi eksternal yang dapat ditemui adalah ‘foam cone’ busa berwarna putih atau merah muda pada mulut dan hidung. Hal tersebut dapat ditemui pada kematian akibat tenggelam, overdosis, penyakit jantung yang didahului dekompensasio kordis. Keberadaan gelembung tidak membuktikan adanya trauma kepala.
Pola trauma
Terdapat beberapa pola trauma akibat kekerasan tumpul yang dapat dikenali, yang mengarah kepada kepentingan medikolegal. Contohnya :
1. Luka terbuka tepi tidak rata pada kulit akibat terkena kaca spion pada saat terjadi kecelakaan, Ketika terjadi benturan, kaca spion tersebut akan menjadi fragmen-fagmen kecil. Luka yang terjadi dapat berupa abrasi, kontusio, dan laserasi yang berbentuk segiempat atau sudut.
2. Pejalan kaki yang ditabrak kendaraan bermotor biasanya mendapatkan fraktur tulang panjang kaki. Hal ini disebut ‘bumper fractures’. Adanya fraktur tersebut yang disertai luka lainnya pada tubuh yang ditemukan di pinggir jalan, memperlihatkan bahwa korban adalah pejalan kaki yang ditabrak oleh kendaraan bermotor dan dapat diketahui tinggi bempernya. Karena hampir seluruh kendaraan bermotor ‘nose dive’ ketika mengerem mendadak, pengukuran ketinggian bemper dan tinggi fraktur dari telapak kaki, dapat mengindikasikan usaha pengendara kendaraan bermotor untuk mengerem pada saat kecelakaan terjadi.
3. Penderita serangan jantung yang terjatuh dapat diketahui dengan adanya pola luka pada dan di bawah area ‘hat band’ dan biasanya terbatas pada satu sisi wajah. Dengan adanya pola tersebut mengindikasikan jatuh sebagai penyebab, bukan karena dipukul.
4. Pukulan pada daerah mulut dapat lebih terlihat dari dalam. Pukulan yang kepalan tangan, luka tumpul yang terjadi dapat tidak begitu terlihat dari luar, namun menimbulkan edem jaringan pada bagian dalam, tepat di depan gigi geligi. Frenum pada bibir atas kadang rusak, terutama bila korban adalah bayi yang sering mendapat pukulan pada kepala
Pola trauma banyak macamnya dan dapat bercerita pada pemeriksa medikolegal. Kadangkala sukar dikenali, bukan karena korban tidak diperiksa, namun karena pemeriksa cenderung memeriksa area per area , dan gagal mengenali polanya. Foto korban dari depan maupun belakang cukup berguna untuk menetukan pola trauma. Persiapan diagram tubuh yang memperlihatkan grafik lokasi dan penyebab trauma adalah latihan yang yang baik untuk mengungkapkan pola trauma.

TRAUMA TAJAM
Benda tajam seperti pisau, pemecah es, kapak, pemotong, dan bayonet menyebabkan luka yang dapa dikenali oleh pemeriksa. Tipe lukanya akan dibahas di bawah ini :
Luka insisi
Luka insisi disebabkan gerakan menyayat dengan benda tajam seperti pisau atau silet. Karena gerakan dari benda tajam tersebut, luka biasanya panjang, bukan dalam. Panjang dan kedalaman luka dipengaruhi oleh gerakan benda tajam, kekuatannya, ketajaman, dan keadaan jaringan yang terkena. Karakteristik luka ini yang membedakan dengan laserasi adalah tepinya yang rata.
Luka tusuk
Luka tusuk disebabkan oleh benda tajam dengan posisi menusuk atau korban yang terjatuh di atas benda tajam. Bila pisau yang digunakan bermata satu, maka salah satu sudut akan tajam, sedangkan sisi lainnya tumpul atau hancur. Jika pisau bermata dua, maka kedua sudutnya tajam.
Penampakan luar luka tusuk tidak sepenuhnya tergantung dari bentuk senjata. Jaringan elastis dermis, bagian kulit yang lebih dalam, mempunyai efek yang sesuai dengan bentuk senjata. Harus dipahami bahwa jaringan elastis terbentuk dari garis lengkung pada seluruh area tubuh. Jika tusukan terjadi tegak lurus garis tersebut, maka lukanya akan lebar dan pendek. Sedangkan bila tusukan terjadi paralel dengan garis tersebut, luka yang terjadi sempit dan panjang.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi bentuk luka tusuk, salah satunya adalah reaksi korban saat ditusuk atau saat pisau keluar, hal tersebut dapat menyebabkan lukanya menjadi tidak begitu khas. Atau manipulasi yang dilakukan pada saat penusukan juga akan mempengaruhi. Beberapa pola luka yang dapat ditemukan :
1. Tusukan masuk, yang kemudian dikeluarkan sebagian, dan kemudian ditusukkan kembali melalui saluran yang berbeda. Pada keadaan tersebut luka tidak sesuai dengan gambaran biasanya dan lebih dari satu saluran dapat ditemui pada jaringan yang lebih dalam maupun pada organ.
2. Tusukan masuk kemudian dikeluarkan dengan mengarahkan ke salah satu sudut, sehingga luka yang terbentuk lebih lebar dan memberikan luka pada permukaan kulit seperti ekor.
3. Tusukan masuk kemuadian saat masih di dalam ditusukkan ke arah lain, sehingga saluran luka menjadi lebih luas. Luka luar yang terlihat juga lebih luas dibandingkan dengan lebar senjata yang digunakan.
4. Tusukan masuk yang kemudian dikeluarkan dengan mengggunakan titik terdalam sebagai landasan, sehingga saluran luka sempit pada titik terdalam dan terlebar pada bagian superfisial. Sehingga luka luar lebih besar dibandingkan lebar senjata yang digunakan.
5. Tusukan diputar saat masuk, keluar, maupun keduanya. Sudut luka berbentuk ireguler dan besar.
Jika senjata digunakan dengan kekuatan tambahan, dapat ditemukan kontusio minimal pada luka tusuk tersebut. Hal ini dapat diindikasikan adanya pukulan
Panjang saluran luka dapat mengindikasikan panjang minimun dari senjata yang digunakan. Harus diingat bahwa posisi tubuh korban saat ditusuk berbeda dengan pada saat autopsi. Posisi membungkuk, berputar, dan mengangkat tangan dapat disebabkan oleh senjata yang lebih pendek dibandingkan apa yang didapatkan pada saat autopsi. Manipulasi tubuh untuk memperlihatkan posisi saat ditusuk sulit atau bahkan tidak mungkin mengingat berat dan adanya kaku mayat. Poin lain yang perlu dipertimbangkan adalah adanya kompresi dari beberapa anggota tubuh pada saat penusukan. Pemeriksa yang sudah berpengalaman biasanya ragu-ragu untuk menentukan jenis senjata yang digunakan.
Pisau yang ditusukkan pada dinding dada dengan kekuatan tertentu akan mengenai tulang rawan dada, tulang iga, dan bahkan sternum. Karakteristik senjata paling baik dilihat melalui trauma pada tulang. Biasanya senjata yang tidak begitu kuat dapat rusak atau patah pada ujungnya yang akan tertancap pada tulang. Sehingga dapat dicocokkan, ujung pisau yang tertancap pada tulang dengan pasangannya.
Luka Bacok
Luka bacok dihasilkan dari gerakkan merobek atau membacok dengan menggunakan instrument yang  sedikit tajam dan relatif berat seperti kapak, kapak kecil, atau parang. Terkadang bayonet dan pisau besar juga digunakan untuk tujuan ini. Luka alami yang disebabkan oleh senjata jenis tersebut bervariasi tergantung pada ketajaman dan berat senjata. Makin tajam instrument makin tajam pula tepi luka. Sebagaimana luka lecet yang dibuat oleh instrument tajam yang lebih kecil, penipisan terjadi pada tempat dimana bacokan dibuat. Abrasi lanjutan dapat ditemukan pada jenis luka tersebut pada sisi diseberang tempat penipisan, yang disebabkan oleh hapusan bilah yang pipih. Pada instrumen pembacok yang diarahkan pada kepala, sudut besatan bilah terkadang dapat dinilai dari bentuk patahan tulang tengkorak. Sisi pipih bilah bisa meninggalkan cekungan pada salah satu sisi patahan, sementara sisi yang lain dapat tajam atau menipis.
Berat senjata penting untuk menilai kemampuannya memotong hingga tulang di bawah luka yang dibuatnya. Ketebalan tulang tengkorak dapat dikalahkan dengan menggunakan instrumen yang lebih berat. Pernah dilaporkan bahwa parang dapat membuat seluruh gigi lepas. Kerusakan tulang yang hebat tidak pernah disebabkan oleh pisau biasa. Juga perlu dicatat kemungkinan diakukannya pemelintiran setelah terjadi bacokan dan dalam upaya melepaskan senjata. Gerakan tersebut, jika dilakukan dengan tekanan, dapat mengakibatkan pergeseran tulang, umumnya didekat kaki-kaki luka bacok.
Efek utama dari luka tusuk, luka lecet, dan luka bacok adalah perdarahan. Disfungsi karena kerusakan saraf di ekstremitas juga dapat dicatat. Luka tusuk yang dalam dapat mengenai organ-organ dalam. intrumen teramat kecil yang menyebabkan luka tipe tusuk dapat menyebabkan luka kecil yang dengan keelastisan dari jaringan normal dapat kembali tertutup setelah intrumen dicabut, dan tidak ada darah yang keluar setelahnya. Pemecah es, awls, dan hatpins diakui dapat menyebabkan luka jenis tersebut. Sebagimana telah didiskusikan pada pembahasan luka tembak, bentuk alami terpotongnya arteri besar dan jantung oleh karena luka tusuk menyebabkan perdarahan lebih lambat dibandingkan kerusakan yang sama yang disebabkan luka tembak.
Pada keadaan tertentu, senjata yang tidak umum digunakan, menyebabkan luka tusuk, lecet, atau bacok. Anak panah berburu yang setajam silet yang umumnya dipakai jarak jauh, pernah juga dipakai untuk menusuk korban dengan tangan. Potongan tajam gelas, botol pecah, dan objek gelas lain yang tajam terkdang dipakai sebagai senjata untuk merobek atau menusuk. Pisau bedah, jarum jahit, dan tonggak tajam dapat digunakan sebagai senjata yang mematikan.
Beberapa catatan sebaiknya dibuat mengenai kerusakan yang tertutupi oleh instrumen tajam yang dipakai sebagai sejata untuk menusuk. Jika pisau bermata dua atau sejata sejenis digunakan, tepi pemotongan yang tajam menyebabkan sudut tajam atau robekan dengan kaki-kaki bersudut akut. Senjata bermata satu seringkali menyebabkan salah satu kaki luka bersudut tajam dan yang satunya tumpul. Pemeriksaan pakaian korban penusukan dapat memeberi perkiraan ciri-ciri senjata yang digunakan. Pemeriksaan tersebut menjadi sangat penting nilainya apabila luka tusuk diperlebar oleh dokter bedah untuk tujuan menilai luka secara lebih akurat untuk kepentingan medikolegal. Pemeriksaan ini juga penting untuk menilai apakah senjata benar-benar menembus pakaian hingga kelapisan dibawahnya. Beberapa individu yang menggunakan senjata tajam untuk bunuh diri dapat membuka sedikit bagian pakaiannya sehingga tidak akan ditemukan robekan tembus pada pakaian. Tidak adanya kerusakan pada pakaian yang dipakai oleh korban, padahal luka terdapat pada area yang tertutupi pakaian, dapat menunjukkan bahwa kematian disebabkan masalah internal.
Terdapat 2 tipe luka oleh karena instrumen yang tajam dikenal dengan baik dan memiliki ciri yang dapat dikenali dari aksi korban. ”tanda percobaan” adalah insisi dangkal, luka tusuk atau luka bacok yang dibuat sebelum luka yang fatal oleh individu yang berencana bunuh diri. Luka percobaan tersebut seringkali terletak paralel dan terletak dekat dengan luka dalam di daerah pergelangan tangan atau leher. Bentuk lainnya antara lain luka tusuk dangkal didekat luka tusuk dalam dan mematikan. Meskipun jarang sekali dilaporkan, luka bacok superfisial di kepala dapat terjadi sebelum ayunan yang keras dan menyebabkan kehilangan kesadaran dan/atau kematian.
Bentuk lain dari luka oleh karena instrumen yang tajam adalah ”luka perlawanan”. Luka jenis ini dapat ditemukan di jari-jari, tangan, dan lengan bawah (jarang ditempat lain) dari korban sebagaimana ia berusaha melindungi dirinya dari ayunan senjata, contohnya dengan menggenggam bilah dari instrumen tajam.
Jelas bahwa ”tanda percobaan” merupakan ciri khas bunuh diri dan ”tanda perlawanan” menunjukkan pembunuhan. Bagaimanapun juga, boleh saja berpikir bahwa luka lecet dapat ditemukan, umumnya pada leher atau sekitar leher, disebabkan oleh penyerang pada kasus pembunuhan. Luka lecet multipel di lengan bawah dapat pula, meskipun jarang, menjadi tanda perlawanan, namun tampil seperti luka percobaan. Interpretasi dari tanda perlawanan dan percobaan yang tampak sebaiknya disimpulkan setelah pemeriksaan yang lengkap dan seksama.
Luka Tembak
Harus selalu ada di dalam benak kita bahwa saat tembakan terjadi, dilepaskan 3 substansi berbeda dari laras senjata. Yaitu anak peluru, bubuk mesiu yang tidak terbakar, dan gas. Gas tersebut dihasilkan dari pembakaran bubuk mesiu yang memberikan tekanan pada anak peluru untuk terlontar keluar dari senjata. Proses tersebut akan menghasilkan jelaga. Ada bagian yang berbentuk keras seperti isi pensil untuk menyelimuti bubuk mesiu. Sebenarnya tidak semua bubuk mesiu akan terbakar; sejumlah kecil tetap tidak terbakar, dan sebagian besar lainnya diledakkan keluar dari lubang senjta sebagai bubuk, yang masing-masing memiliki kecepatan inisial sama dengan anak peluru atau misil lain. Massa materi yang terlontar dari laras pada saat penembakan dapat menjadi patokan jarak yang ditempuhnya. Gas, yang bersamanya juga terkandung jelaga, sangat jelas dan dapat melalui jarak yang sangat pendek yang diukur dengan satuan inch. Bubuk mesiu yang tidak terbakar, dengan massa yang lebih besar, dapat terlontar lebih jauh. Tergantung kepada tipe bubuknya, kemampuan bubuk mesiu untuk terlontar bervariasi antara 2-6 kaki (0,6-2 m). Makin berat anak peluru tentu saja membuatnya terlontar lebih jauh menuju target yang ditentukan atau tidak ditentukan.
Jarak Tembakan
Efek gas, bubuk mesiu, dan anak peluru terhadap target dapat digunakan dalam keilmuan forensik untuk memperkirakan jarak target dari tembakan dilepaskan. Perkiraan tersebut memiliki kepentingan sebagai berikut: untuk membuktikan atau menyangkal tuntutan; untuk menyatakan atau menyingkirkan kemungkinan bunuh diri; membantu menilai ciri alami luka akibat kecelakaan. Meski kisaran jarak tembak tidak dapat dinilai dengan ketajaman absolut, luka tembak dapat diklasifikasikan sebagai luka tembak jarak dekat, sedang, dan jauh. Seperti yang tertera pada tabel 1. Perlu dicatat bahwa ciri-ciri yang terdapat pada tabel tersebut disebabkan oleh senapan dan pistol, termasuk juga revolver dan pistol otomatis.
Tabel 1
Senapan Pistol
1.Kontak
a. Keras, dangkal disekitar tulang Penampakkan ”eksplosif”
Jelaga pada tepi luka dan dalam di dalam jaringan, di atas tulang
Gambaran moncong senjata Penampakkan ”eksplosif”
Jelaga pada tepi luka dan dalam di dalam jaringan, di atas tulang
Gambaran moncong senjata
b. keras, tidak dangkal disekitar tulang Defek sirkular
Jelaga pada jaringan yang lebih dalam Defek sirkular
Jelaga pada jaringan yang lebih dalam
c. longgar Korona (ditambah dengan B) Sama dengan B
2. Jarak dekat Jelaga (gas mesiu) Jelaga (gas mesiu)
Terbakar (gas mesiu)
Bubk mesiu bebas Bubuk mesiu bebas
Tanda gumpalan cabang
3. Jarak sedang Kelim tato (bubuk mesiu) Kelim tato (bubuk mesiu)
Tepi luka yang tidak rata
Stippling (isi plastik pada selongsong)
4. Jarak jauh Luka saja Luka tidak rata dengan defek satelit
Makin jauh jarak tembak: satelit makin banyak, terlihat penggumpalan
Luka tembak tempel
Banyak orang yang tidak mengetahui bahwa pembakaran bubuk mesiu saat tembakan terjadi menghasilkan sejumlah besar gas. Gas inilah yang mendorong anak peluru keluar dari selongsongnya, dan selanjutnya menimbulkan suara yang keras. Gas tersebut sangat panas dan kemungkinan tampak seperti kilatan cahaya, yang jelas pada malam hari atau ruangan yang gelap.
Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi bentuk luka yaitu hasil kombinasi antara gas dan anak peluru: (1) sejumlah gas yang diproduksi oleh pembakaran bubuk mesiu; (2) efektivitas pelindung antara kulit dan anak peluru; dan (3) ada tidaknya tulang dibawah jaringan yang terkena tembakan. Faktor pertama, jumlah gas yang diproduksi oleh bubuk mesiu yang terbakar memilik hubungan dengan kecepatan melontar senjata. Secara jelas dapat dikatakan dengan meningkatkan kecepatan melontar berarti juga meningkatkan kecepatan anak peluru. Meningkatnya jumlah gas yang diproduksi merupakan suatu prinsip untuk meningkatkan dorongan terhadap anak peluru. Faktor kedua yang berpengaruh terhadap efektifitas pelindung antara kulit dan anak peluru. Makin efisien pelindung tersebut makin banyak gas yang gagal ditiupkan di sekitar moncong senjata sehingga makin banyak gas yang dapat ditemukan di jaringan tubuh. Faktor terakhir adalah keberadaan lapisan tulang dalam jarak yang dekat di bawah kulit yang dapat dibuktikan menjadi pembatas terhadap penetrasi yang masif dan ekspansi gas menuju jaringan yang lebih dalam.
Luka Tembak Jarak Dekat
Tanda luka tembak dengan jarak senjata ke kulit hanya beberapa inch adalah adanya kelim jelaga disekitar tempat masuk anak peluru. Luasnya kelim jelaga tergantung kepada jumlah gas yang dihasilkan, luasnya bubuk mesiu yang terbakar, jumlah grafit yang dipakai untuk menyelimuti bubuk mesiu. Pada luka tembak jarak dekat, bubuk mesiu bebas dapat ditemukan didalam atau di sekitar tepi luka dan disepanjang saluran luka. ”kelim tato” yang biasa tampak pada luka jarak sedang, tidak tampak pada luka jarak pendek kemungkina karena efek penapisan oleh jelaga.
Pada luka tembak jarak dekat, sejumlah gas yang dilepaskan membakar kulit secara langsung. Area disekitarnya yang ikut terbakar dapat terlihat. Terbakarnya rambut pada area tersebut dapat saja terjadi, namun jarang diperhatikan karena sifat rambut terbakar yang rapuh sehingga patah dan mudah diterbangkan sehingga tidak ditemukan kembali saat dilakukan pemeriksaan. Rambut terbakar dapat ditemukan pada luka yang disebabkan senjata apapun.
Luka Tembak Jarak Sedang
Tanda utama adalah adanya kelim tato yang disebabkan oleh bubuk mesiu yang tidak terbakar yang terbang kearah kulit korban. Disekitar zona tato terdapat zona kecil berwarna magenta. Adanya tumbukan berkecepatan tinggi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah kecil dan menghasilkan  perdarahan kecil.
Bentuk tato memberikan petunjuk mengenai tipe bubuk mesiu yang digunakan. Serpihan mesiu menyebabkan tato dengan bentuk yang beraneka ragam, tergantung bagaimana masing-masing mesiu  membentur kulit dengan bentuk pipih pada tepinya. Gumpalan mesiu, berbentuk bulat atau bulat telur, menyebabkan tato bentuk bintik-bintik atau titik-titik. Karena bentuk gumpalan lebih kecil dari bentuk serpihan sehingga daerah berkelim tato pada gumpalan lebih halus.
Luas area tato menunjukkan jarak tembak. Makin besar jarak tersebut, makin besar area, namun semakin halus. Metode pengukuran luas yang umum dipakai adalah dengan mengukur 2 koordinat, potongan longitudinal dan transversal. Untuk kemudian dibuat luka percobaan, dengan menggunakan  senjata yang sama, amunisis yang sama, kondisi lingkungan yang sama dengan hasil luka terlihat yang sama persis dengan korban, dapat di ukur jarak tembak.
Jarak tempuh bubuk mesiu beraneka ragam. Bubuk mesiu yang terbungkus dapat dibawa hingga 8-12 kaki. Namun kelim tato tidak akan ditemukan lagi bila jarak tembak melebihi 4-5 kaki.
Luka tembak jarak jauh
Tidak ada bubuk mesiu maupun gas yang bisa terbawa hingga jarak jauh. Hanya anak peluru yang dapat terlontar memebihi beberapa kaki. Sehingga luka yang ada disebabkan oleh anak peluru saja. Terdapat beberapa karakteristik luka yang dapat dinilai. Umumnya luka berbentuk sirkular atau mendekati sirkular.Tepi luka compang-camping. Jika anak peluru berjalan dengan gaya non-perpendikular maka tepi compang-camping tersebut akan melebar pada salah satu sisi. Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan arah anak peluru.
Pada luka tembak masuk jarak jauh memberi arti yang besar terhadap pengusutan perkara. Hal ini karena luka jenis ini menyingkirkan kemungkinan penembakan terhadap diri sendiri, baik sengaja tau tidak. Terdapat 4 pengecualian, yaitu (1) Senjata telah di set sedemikian rupa sehingga dapat di tembakkan sendiri oleh korban dari jarak jauh; (2) kesalahan hasil pemeriksaan karena bentuk luka tembak tempel yang mirip luka tembak jarak jauh; (3) Kesulitan interpretasi karena adanya pakaian yang menghalangi jelaga atau bubuk mesiu mencapai kulit; dan (4) Jelaga atau bubuk mesiu telah tersingkir. Hal tersebut terjadi bila tidak ada pengetahuan pemeriksa dan dapat berakibat serius terhadap penyelidikan.
Luka Tembak Keluar
Peluru yang berhasil melewati tubuh akan keluar dan menghasilkan luka tembak keluar. Biasanya karakteristik luka berbeda dengan luka tembak masuk. Bentuknya tidak sirkular melainkan bervariasi dari seperti celah (slitlike), seperti bintang, iregular, atau berjarak (gaping). Bentuk luka tembak keluar tidak dapat di prediksi. Latar belakang variasi bentuknya adalah sebagai berikut:
1. Anak peluru terpental dari dalam tubuh sehingga keluar dari tempatnya masuk
2. Anak peluru mengalami perubahan bentuk selama melewati tubuh sehingga memberi bentuk iregular saat keluar.
3. Anak peluru hancur di dalam tubuh, sehingga keluar tidak dalam 1 kesatuan melainkan dalam potongan-potongan kecil. Jika memiliki jaket, maka jaket dapat terpisah komplit atau sebagian.
4. Anak peluru yang mengenai tulang atau tulang rawan, dapat membuat fragmen tulang tersebut ikut terlontar keluar bersama anak peluru.
5. Anak peluru yang melewati kulit yang tidak ditopang oleh struktur anatomi apapun akan membuat kulit tersebut koyak, hal ini sedikit berhubungan dengan bentuk anak peluru yang menyebabkannya.
Tidak adanya penahan pada kulit akan menyebabkan anak peluru mengoyak kulit pada saat keluar. Dalam beberapa keadaan dimana kulit memiliki penahan, maka bentuk luka tembak sirkular atau mendekati mendekati sirkular yang disekelilingnya dibatasi oleh abrasi. Teka-teki ilmiah forensik klasik membedakan luka tembak masuk dan luka tembak keluar. Luka tembak masuk dan luka tembak keluar sulit dibedakan apabila pada luka tembak luar terdapat penahan kulit, pada luka tembak masuk terdapat pakaian yang menghalangi residu lain, senjata yang digunakan kaliber kecil (kaliber 22), dan tulang tidak langsung berada di bawah kulit.
Luka tembak luar bentuk shored umumnya ditemukan pada pemakaian pakaian, pada posisi bagian tubuh tertentu seperti pakaian yang sangat ketat, bagian ikat pinggang dari celana panjang, celana pendek, atau celana dalam, bra, kerah baju, dan dasi. Luka jenis sama juga terjadi karena bagian tangan menahan tempat keluar anak peluru kemudian posisi pasien tiduran, duduk, atau menempel pada objek yang keras.
Tidak semua anak peluru dapat keluar dari tubuh. Terdapat banyak tulang dan jaringan padat yang dapat menghalangi lewatnya peluru. Peluru jarang dapat dihentikan oleh tulang, terutama tulang-tulang yang tipis seperti skapula dan ileum atau bagian tipis dari tenglorak. Kebanyakan anak peluru masuk ke dalam tubuh dan menghabiskan energi kinetiknya di kulit. Kulit adalah penghalang kedua yang paling menghalangi lewatnya anak peluru.
Anak peluru yang mengenai lokasi yang tidak biasa dapat menyebabkan luka dan kematian tetapi luka tembak masuk akan sangat sulit untuk ditemukan. Contohnya telinga, cuping hidung, mulut, ketiak, vagina, dan rektum.
KECEPATAN ANAK PELURU
Jarak tembakan harus ditentukan atau dipikirkan untuk menilai kecepatan tolakan anak peluru. Perkiraan kecepatan bisa dinilai dengan melakukan pemeriksaan cartridge manufacturer’s range tables atau untuk lebih tepat dapat menggunakan kronografi, menguji ulang tembakan dengan menggunakan tipe senjata yang sama dan tipe amunisi yang sama yang dicoba-coba pada beberapa jarak tertentu.
Kecepatan pistol untuk melontar umumnya antara 350 dan 1500 kaki per detik. Terdapat sebuah rumus untuk menilai energi kinetik yaitu KE = mv2/2g
Keterangan : KE adalah energi kinetik dalam satuan foot-pounds
m adalah massa anak peluru (pounds)
v adalah kecepatan (feet)
g adalah gaya gravitasi
Area yang tidak terluka pada kasus luka tembak
Ada 4 situasi yang akan diterangkan pada bab ini, yaitu mengenai peluru yang berhubungan dengan efek yang terlihat pada tubuh yang berupa kelainan abnormal. Situasi tersebut adalah:
1. Percikan darah (dan kadang-kadang jaringan) pada kedua tangan. Kondisi ini sering ditemukan pada korban bunuh diri. Percikan darah atau jaringan pada tangan terjadi ketika kontak antara senjata api dengan tangan yang memegang pelatuk senjata. Selian itu juga sering ditemukan percikan jaringan otak. Pada korban penyerangan atau pembunuhan, pada tangan penyerang sering ditemukan percikan darah/jaringan korban, namun seringkali penyerang sudah membersihkan percikan tersebut.
2. Darah mungkin bisa turun ke bagian kaki atau bagian bawah yang lain dari korban.
3. Residu (sisa) dari senjata api yang terdapat pada daerah luka bisa menggambarkan posisi dan waktu korban itu ditembak. Percikan api atau bubuk mesiu yang keluar dari lubang yang berbentuk silinder senjata bisa menggambarkan posisi tembakan dan jenis senjata yang digunakan. Percikan bubuk mesiu ini membentuk sebuah tatto pada luka korban.
4. Terdapat tanda pada telapak tangan yang memegang senjata api berupa jelaga dan bubuk mesiu korban bunuh diri.
Perubahan Luka pada Luka Tembak
Ada beberapa kondisi yang bisa merubah gambaran luka tembak dengan cepat. Perubahan itu dapat disebabkan antara lain oleh:
1. luka terbuka yang sudah mengering
2. proses pembusukan tubuh
3. penyembuhan dari luka itu sendiri
4. intervensi tenaga medis
5. intervensi bedah
6. intervensi oleh personel atau orang yang tidak profesional
7. pencucian atau pembersihan luka setelah korban mati

Residu senjata api
Istilah residu sebenarnya adalah sesuatu yang tersisa. Pada bagian ini akan dibahas mengenai beberapa hal yang memiliki arti yang sama dengan residu. Tiap inevestigator akan cenderung tertarik melihat residu senjata api dengan sudut pandang yang berbeda. Para petugas hukum akan mengartikan residu dengan menghubungkan yang tersisa di tangan penyerang dengan senjata api penyerang. Sedangkan ahli senjata lebih tertarik dengan residu yang dihubungkan dengan senjata api yang digunakan. Ahli patologi forensik menguraikan antara residu yang terdapat pada tubuh korban dan luka tembak yang ditemukan.
Pokok persoalan mengenai residu senjata api ini cukup kompleks, meliputi identifikasi, pengumpulan,pemeliharaan, dokumentasi, analisis, dan interpretasi yang baik. Namun hal ini agak kurang dilakukan.
Secara tradisional, residu berarti bubuk sisa tembakan (bubuk mesiu) yang terjadi akibat proses pembakaran. Ada beberapa macam bentuk residu yang terdapat setelah proses penembakan menurut investigasi medikolegal.
Residu juga terdapat pada peluru tetapi jarang sekali berguna untuk kepentingan forensik. Tetapi bubuk mesiu yang terdapat pada peluru seringkali digunakan oleh pemeriksa medikolegal untuk menemukan jenis senjata api yang digunakan.
Residu tersebut kadang terlihat dengan mata telanjang dan digambarkan sebagai sebuah kelim tatto pada bagian tubuh korban. Sebagai tambahan, bubuk mesiu peluru dan fragmennya bisa terlihat pada bagian atas kulit atau bagian bawah kulit dan bisa juga tidak teridentifikasi. Studi mengenai residu ini adalah baru awal, tidak pernah ada pertanyaan yang menganalisa detail mengenai keberadaan residu pada luka tembak dalam atau luka tembak luar pada bagian tubuh korban yang telah mengalami pembusukan.
Residu Senjata Api pada Tangan Tersangka
Petugas hukum biasanya menginginkan untuk mengecek tangan tersangka pada kasus pembunuhan dengan luka tembak senjata api. Sedangkan ahli patologi forensik mengecek tangan korban bunuh diri untuk mendapatkan bukti tambahan bahwa memang kematian disebabkan oleh korban sendiri. Ahli patologi forensik juga mendemonstrasikan hubungan residu yang tertinggal dengan korban melalui bahasa tubuh (gesture) korban yang bertahan atau terdapat perlawanan korban terhadap kontrol senjata api.
Residu Senjata Api
Residu Asal Terlihat dengan mata telanjang
partikel bubuk bubuk ya
jelaga bubuk ya
grafit bubuk ya, sebagai jelaga
karbonmonoksida bubuk ya, sebagai karboksihemoglobin
ya, sebagai karboksimioglobin
fragmen/kepingan peluru ya
minyak pelumas peluru ya
timah,antimoni,perak peluru tidak
timah,barium,antimoni primer tidak
tembaga,besi selongsong peluru tidak
Residu pada tangan mungkin bisa terlihat, pada kasus ini keberadaan residu harus dideskripsikan dan diobservasi, dan mungkin harus difoto dan didokumentasikan. Pada kebanyakan kasus, residu tidak dapat terlihat dengan mata telanjang. Ada teknik-teknik tertentu untuk melihat adanya residu. Teknik pertama yang diperkenalkan sekitar tahun 1930an adalah teknik parafin. Teknik ini mendemonstrasikan nitrat dengan menggunakan parafin untuk mengumpulkan partikel. Nitrat mampu mengoksidasi substansi dari bubuk mesiu dengan jumlah yang besar. Adanya partikel tersebut akan menyebabkan efek warna setelah diberikan parafin. Tetapi teknik nitrat dengan menggunakan parafin ini hanya bagus pada teori. Teknik ini tidak sensitif dan susah untuk dilakukan (tidak praktis).
Dengan alasan yang tidak jelas, beberapa petugas hukum masih melakukan tes parafin ini, dan laboratorium kriminal di AS juga masih menggunakan prosedur ini.
Pada tahun 1960an, dikembangkan teknik aktivasi neutron yang lebih digunakan dan akurat. Bahan yang diambil dari tangan dengan menggunakan parafin atau larutan asam. Kemudian dilihat dengan sinar radiasi emisi neutron. Radioaktif sekunder akan memisahkan partikel-partikel residu dengan teliti dan akurat. Teknik ini sangat sensitif dengan membutuhkan sedikit residu. Meskipun demikian hanya beberapa laboratorium di AS dapat mengerjakannya karena biaya yang mahal.
Absorbsi percikan nyala api dari senjata api yang berupa partikel atom merupakan salah satu cara untuk mendeteksi residu primer. Teknik ini dilakukan menggunakan temperatur yang sangat tinggi untuk menguapkan partikel metalik dari primer residu kemudian dinilai dengan spektrofotometri. Teknik ini sangat cepat, sensitif, dan ekonomis. Teknik yang lain adalah skanning dengan mikroskop elektron sebagai alat sentral analisis residu primer yang dikembangkan oleh aerospace corporation.
Semua prosedur yang telah diterangkan diatas akan berguna apabila pada tangan korban atau suspek dijaga dan dilindungi dengan cepat supaya residu tidak hilang atau terkontaminasi. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan kertas, bukan plastik untuk menutupi bagian tangan sebelum mendapat manipulasi atau perubahan posisi. Pada suspek hidup, tidak dibenarkan bagi mereka untuk mencuci tangan, memasukkan tangan ke dalam saku, atau menyentuh apapun.
Residu senjata api pada korban yang dihubungkan dengan pintu masuk luka
Residu yang terlihat, seperti yang telah diterangkan diatas, dapat berupa jelaga, minyak pelumas peluru, kelim tatto, bubuk mesiu, atau terkadang berupa jelaga yang berasal dari celah silinder dari pistol. Residu yang tidak terlihat bisa berupa material primer dan partikel metal yang telah menguap yang berasal dari peluru, jaket, atau selongsong peluru.
Pada umumnya, residu yang dapat dilihat akan berdekatan dengan masuknya luka (pintu masuk luka). Tepi luka yang rusak bisa tertutup oleh residu dari senjata api apabila tembakan yang dilakukan pada jarak dekat. Pada luka akibat tembakan, residu tidak terlihat secara eksternal, kecuali tepi luka yang rusak itu berwarna kehitaman, hal itu terjadi karena deposit residu peluru pada jaringan. Deteksi yang terbaik adalah dengan mengambil bagian sekeliling kulit yang rusak akibat tembakan, dan termasuk lapisan subkutan dan mungkin jaringan yang lebih dalam lagi untuk menemukan bubuk mesiu. Hal ini sangat baik dilakukan dengan mikroskop dan dilakukan pada ruang otopsi. Prosedur ini juga dilakukan untuk membedakan luka tembak dalam dan luka tembak luar pada tubuh yang sudah membusuk atau berubah karena dibakar, temabakan yang dilakukan dalam jarak dekat atau jarak jauh, dan luka oleh kaliber 22.
Residu yang terlihat kadang bisa terlihat dengan pemeriksaan histologis. Teknik ini digunakan untuk mencari adanya bubuk mesiu. Kemudian setelah itu bisa dilakukan pemeriksaan nitrat atau nitrit. Menurut pengalaman penulis, sejauh ini teknik ini lebih bermanfaat dibandingkan pemeriksaan dengan mikroskop saja pada jaringan yang masih baru (fresh).
Pada saat pencarian residu yang tidak terlihat disekeliling tepi luka tembak, pengambilan jaringan dan pemeriksaan dengan energi dispersi dari alat-alat X-ray akan sangat menguntungkan. Dengan teknik ini komponen primer dan jumlah yang sangat kecil dari deposit metal yang tersisa dari peluru, jaket maupun selongsongnya bisa dideteksi semikuantitatif.
Residu dari senjata api bisa berupa gas karbonmonoksida. Gas ini diproduksi akibat proses pembakaran bubuk mesiu. Ketika senjata kontak dengan kulit, karbonmonoksida akan dideposit dibawah lapisan kulit dan terdifusi pada jaringan. Gas karbonmonoksida akan bergabung dengan hemoglobin darah dan mioglobin otot dan membentuk karboksihemoglobin dan karboksimioglobin.
Deskripsi luka senjata api
Kepentingan medikolegal deskripsi yang adekuat dari luka senjata api bergantung pada besarnya potensi seorang korban meninggal. Jika korban masih hidup, deskripsi singkat dan tidak terlalu detail. Dokter mempunyai tenggung jawab yang utama untuk memberikan penatalaksanaan gawat darurat. Membersihkan luka, membuka dan mengeksplorasi, debridement dan menutupnya, kemudian membalut adalah bagian penting dari merawat pasien bagi dokter. Penggambaran luka secara detail akan dilakukan nanti., setelah semua kondisi gawat darurat dapat disingkirkan. Oleh karena singkatnya waktu yang dimiliki untuk mempelajari medikolegal, seringkali dokter merasa tidak mempunyai kewajiban untuk mendeskripskan luka secara detail. Deskripsi luka yang minimal untuk pasien hidup terdiri dari:
1. lokasi luka
2. ukuran dan bentuk defek
3. lingkaran abrasi
4. lipatan kulit yang utuh dan robek
5. bubuk hitam sisa tembakan, jika ada
6. tattoo, jika ada
7. bagian yang ditembus/dilewati
8. titik hitam atau tanda penyembuhan akibat bedah pengeluaran benda asing dan susunannya
9. penatalaksanaan luka, termasuk debridement, penjahitan, pengguntingan rambut, pembalutan, drainase, dan operasi perluasan luka
Pada korban mati, tidak ada tuntutan dalam mengatasi gawat darurat. Meskipun demikian, tubuhnya dapat saja sudah mengalami perubahan akibat penanganan gawat darurat atau pihak lain. Sebagai tambahan, tubuh bisa berubah akibat perlakuan orang-orang yang mempersiapkan tubuhnya untuk dikirimkan kepada pihak yang bertanggung jawab untuk menerimanya. Di lain pihak tubuh mungkin sudah dibersihkan, bahkan sudah disiapkan untuk penguburan, luka sudah ditutup dengan lilin atau material lain. Penting untuk mengetahui siapa dan apa yang telah dikerjakannya terhadap tubuh korban, untuk mengetahui gambaran luka sebenarnya.
Hal-hal yang penting dalam deskripsi luka tembak :
1. Lokasi
a. jarak dari puncak kepala atau telapak kaki serta ke kanan dan kiri garis pertengahan tubuh
b. lokasi secara umum terhadap bagian tubuh
2. Deskripsi luka luar
a. ukuran dan bentuk
b. lingkaran abrasi, tebal dan pusatnya
c. luka bakar
d. lipatan kulit, utuh atau tidak
e. tekanan ujung senjata
3. Residu tembakan yang terlihat
a. grains powder
a. deposit bubuk hitam, termasuk korona
b. tattoo
c. metal stippling
4. Perubahan
a. oleh tenaga medis
b. oleh bagian pemakaman
5. Track
a. penetrasi organ
b. arah
- depan ke belakang (belakang ke depan)
- kanan ke kiri(kiri ke kanan)
- atas ke bawah
c. kerusakan sekunder
- perdarahan
- daerah sekitar luka
d. kerusakan organ individu
6. Penyembuhan luka tembakan
a. titik penyembuhan
b. tipe misil
c. tanda identifikasi
d. susunan
7. Luka keluar
a. lokasi
b. karakteristik
8. Penyembuhan fragmen luka tembak
9. Pengambilan jaringan untuk menguji residu
Deskripsi medikolegal harus lebih detail dan harus mencakup juga perubahan yang terjadi oleh orang lain maupun karena reaksi penyembuhan.
Fasilitas Otopsi untuk korban luka tembak
Fasilitas merupaka bagian penting dalam melakukan pemeriksaan yang adekuat bagi korban luka tembak. Fasilitas yang perlu dievaluasi adalah tempat, tenaga kerja dan peralatan.
Tempat
Tempat untuk otopsi bagi otopsi medikolegal dapat disediakan oleh bagian peradilan, atau oleh ahli patologi. Lokasi yang paling ideal adalah fasilitas otopsi patologi forensik. Ini memungkinkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan cepat dan tanpa mengeluarkan banyak tenaga. Masalah lain yang perlu dipikirkan adalah tempat penyimpanan tubuh yang baik untuk mencegah perubahan yang berkaitan dengan pembusukan. Penyimpanan yang baik adalah suhu dingin 2-6° C, dan aman dari ‘tangan-tangan jahil’. Juga diperlukan adanya cahaya yang cukup untuk pemeriksaan dan fotografi.
Tenaga kerja
Ahli patologi tidak mungkin bekerja seorang diri. Asisten yang dapat membantu otopsi agar mendapatkan hasil yang adekuat adalah orang-orang dari bagian patologi, residen patologi, teknolog medis, perawat dan orang dari petugas ruang patologi.
Peralatan
Pemeriksan X-Ray harus tersedia. Hal ini dapat melancarkan pemeriksaan otopsi.
Konsep-konsep yang salah dalam investigasi tembakan senjata
1. Luka tembak masuk selalu lebih kecil daripada luka tembak keluar
2. Ketika luka tembak masuk lebih tinggi dibanding luka tembak keluar, arah serangan dari bawah ke atas
3. Peluru selalu berjalan dalam garis lurus di dalam tubuh, mulai dari tempat masuk sampai keluar dari tubuh, atau bila tertinggal di dalam tubuh
4. Ketika peluru diketahui dari luka terbuka senjata api, berefek sangat panas sehingga membakar kulit
5. Peluru tembakan dari senjata yang beralur(spiral), mengalami perputaran dengan kecepatan yang sangat tinggi, menuntun jalannya pada dan melalui target. Gerakan berputar atau mengebor menghasilkan lingkaran abrasi pada luka tembak masuk
6. Peluru yang dihasilkan senjata atau revolver dengan setengah jaket atau peluru berlubang membuat ‘hamburger’ pada organ daerah dada dan abdomen
7. Beberapa individu meninggal karena komplikasi akibat perlakuan saat membersihkan luka
8. Individu yang dominan tangan kanan membunuh diri dengan memegang senjata dengan tangan kanan dengan luka terbuka pada kontak dengan atau dekat dengan pelipis kanan
9. Adalah mungkin untuk memperkirakan berapa lama korban hidup setelah cedera fatal dari pemeriksaan luka
10. Otopsi pada korban luka tembak merupakan prosedur yang sederhana. Yang penting adalah menemukan luka masuk dan luka keluar, lokasi peluru, dan jaringan serta organ yang terluka
________________________________________
© 2006 All Rights Reserved.

PENGELOLAAN CEDERA KEPALA DAN CEDERA TULANG BELAKANG DIDAERAH YANG JAUH DARI  SARANA BEDAH SARAF.

Syaiful Saanin, SMF BEDAH SARAF RS. DR. M. DJAMIL, Padang.
PENGELOLAAN CEDERA KEPALA DAN CEDERA TULANG BELAKANG DIDAERAH YANG JAUH DARI SARANA BEDAH SARAF.
EPIDEMIOLOGI.
Insidens
Neurotrauma bertanggung-jawab atas 70% kematian dijalan-raya serta 50% kematian karena trauma. KLL merupakan 50-60% dari semua trauma kepala. Cedera traumatik penyebab kematian ketiga dinegara dengan kendaraan bermotor. Insidens tertinggi dari pasien berusia dibawah 45 tahun ke RS adalah akibat trauma.
CEDERA SISTIM SARAF.
FAKTOR YANG MEMPERBURUK OUTCOME.
1. BERATNYA CEDERA PRIMER.
2. KOMPLIKASI INTRAKRANIAL.
3. HIPOKSEMIA.
4. HIPERKARBIA.
5. HIPOTENSI.
6. ANEMIA.
7. CEDERA GANDA.
8. USIA.
9. WAKTU PRA RUMAH SAKIT YANG LAMA.
10. MASUK KE R.S. YANG TIDAK MEMADAI.
11. RUJUKAN TERLAMBAT / TIDAK MEMADAI.
12. OPERASI DEFINITIF TERLAMBAT.
Penyebab kematian atau kecacadan yang dapat dicegah :
1. Keterlambatan resusitasi primer terhadap hipoksia, hipercarbia dan hipotensi.
2. Keterlambatan tindakan bedah-saraf definitif terutama pada hematoma intrakranial yang berkembeng cepat. Termasuk diagnostik, komunikasi dan tansportasi.
3. Infeksi kranioserebral.
Cedera ganda memiliki masalah kompleks dan menyebabkan kematian dua kali cedera tunggal. Kelainan neurologis menunjukkan disfungsi otak berat. Pasien diatas 50 tahun bisa mengalami komplikasi intrakranial akibat cedera minor.
MEKANISME CEDERA KEPALA.
1. AREA ANATOMIS yang mengalami cedera manentukan outcome & komplikasi.
2. JENIS CEDERA pada area tertentu menimbulkan pola cedera tertentu.
AKSELERASI-DESELERASI.
IMPAK LOKAL.
PENETRATING.
CRUSH INJURY.
3. PATOLOGI CEDERA KEPALA :
A. PRIMER :
SCALP.
FRAKTURA.
MENINGS.
OTAK.
B. SEKUNDER :
PERDARAHAN INTRAKRANIAL.
PEMBENGKAKAN OTAK.
HIPOKSIA OTAK.
KEBOCORAN CSS DAN PNEUMOSEFALUS.
KELAINAN METABOLIK.
INFEKSI.
EPILEPSI.
4. EVOLUSI CEDERA. Perburukan dengan bertambahnya waktu akan merubah pola tindakan.
PERAWATAN PRA RUMAH-SAKIT.
• FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTCOME harus dapat perhatian utama.
• POSISI PASIEN TIDAK SADAR. Posisi lateral dengan wajah agak diputar kearah bawah.
• INTUBASI TRAKHEAL. Bila GCS  8 atau gangguan jalan nafas.
• CEDERA SPINAL Cedera spinal leher dengan gangguan jalan nafas, mengatasi jalan nafas merupakan prioritas.
PENGELOLAAN CEDERA KEPALA DI R.S.
PENGELOLAAN DINI CEDERA BERAT.
1. SURVEY PRIMER :
A. Jalan nafas dan immobilisasi C-spine.
B. Pola dan adekuasi pernafasan.
C. Sirkulasi dan perdarahan.
D. Disabilitas : AVPU/GCS, pupil.
E. Exposure. Cegah hipotermia.
2. RESUSITASI :
A : PASTIKAN PATEN / INTUBASI.
B : VENTILASI ADEKUAT/MESIN/OKSIGEN.
C : PERFUSI / HENTIKAN PERDARAHAN.
NILAI REAKSI TERHADAP RESUSITASI :
T/N/WARNA KULIT/REFILL KAPILER/
OUTPUT URIN.
N.G.T/KATETER BILA TIDAK K.I.
Survei primer dan resusitasi dilakukan bersamaan. Hipotensi jarang karena cedera kepala, kecuali pada anak-anak dengan perdarahan scalp atau cedera kepala. Pikirkan penyebab lain atau cedera kord spinal. Kadang-kadang bisa oleh cedera medulla.
3. SURVEY SEKUNDER :
GCS DAN CEDERA EKSTERNAL KEPALA.
T/N/R/S.
KEPALA HINGGA KAKI.
NILAI ULANG GCS.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS.
PENILAIAN KHUSUS BEDAH SARAF.
A. RIWAYAT :
A. PENYEBAB CEDERA.
B. KEHILANGAN KESADARAN.
C. RESPONS PUPIL.
D. KARDIORESPIRATOR DAN RESPONS ATAS RESUSITASI.
E. RIWAYAT OBAT/ALKOHOL.
F. PENYAKIT, CEDERA SEBELUMNYA.
B. PEMERIKSAAN SARAF PUSAT :
A. GCS.
B. RESPONS PUPIL.
C. POLA MOTOR.
D. INSPEKSI WAJAH DAN SCALP.
E. PALPASI WAJAH, SCALP, # DEPRESSED.
F. PALPASI SPINE.
Riwayat dan pemeriksaan adalah untuk membandingkan bila terjadi perburukan.
INDIKASI CT SCANNING :
1. SETELAH RESUSITASI GCS 8.
2. PERBURUKAN GCS  2, HEMIPARESE, JULING.
3. NGANTUK ATAU BINGUNG (GCS 9-12 > 2 JAM).
4. NYERI KEPALA/MUNTAH MENETAP.
5. TANDA NEUROLOGIS FOKAL.
6. JELAS / DIDUGA FRAKTURA.
7. JELAS / DIDUGA CEDERA PENETRATING.
8. USIA > 50 TAHUN.
9. PENILAIAN POST OPERATIF.
CT dilakukan pada semua kasus kecuali cedera kepala ringan. Perburukan yang cepat mungkin memerlukan tindakan bedah segera tanpa membuang waktu untuk CT.
INDIKASI SKULL X-RAY :
1. KEHILANGAN KESADARAN, AMNESIA.
2. NYERI KEPALA MENETAP.
3. TANDA NEUROLOGIS FOKAL.
4. CEDERA SCALP.
5. DUGAAN CEDERA PENETRATING.
6. CSS / DARAH DARI HIDUNG / TELINGA.
7. DEFORMITAS TENGKORAK TAMPAK/TERABA.
8. KESULITAN PENILAIAN : ALKOHOL / OBAT / EPILEPSI / ANAK-ANAK.
9. GCS 15 TAPI BENTURAN LANGSUNG & KERAS.
Didaerah rural dimana CT tidak tersedia, foto polos mungkin memberi informasi. Buat posisi AP/lateral/Towne dan tangensial daerah impak.
Foto polos berguna untuk penilaian triase. Fraktur mempengaruhi tindakan :
1. Karena ada kemungkinan perdarahan, perlu CT.
2. Fraktur terbuka termasuk basis meninggikan risiko infeksi. Fraktur depres meningkatkan kemungkinan kejang, tu. Bila laserasi dura.
3. Fraktur menunjukkan sisi operasi pada pasien dengan perburukan cepat karena perdarahan ekstradural.
4. TINDAKAN DEFINITIF.
PERSIAPAN UNTUK TRANSFER PASIEN.
KRITERIA RAWAT :
1. BINGUNG / SETIAP PENURUNAN GCS.
2. TANDA ATAU GEJALA NEUROLOGIS.
3. KESULITAN PENILAIAN KLINIS.
4. KELAINAN MEDIS LAIN.
5. FRAKTURA TENGKORAK.
6. KELAINAN PADA CT.
7. TIDAK ADA PENGAMAT DILUAR R.S.
8. USIA LEBIH DARI 50 TAHUN.
9. ANAK-ANAK SESUAI PROTOKOL ANAK.
Pasien dengan kehilangan kesadaran kurang dari 5 menit atau yang tidak termasuk daftar, tidak dirawat bila telah melewati waktu 4 jam sejak kejadian. Namun diawasi dirumah dan kembali ke RS bila timbul kelainan sesuai daftar pada lembar instruksi pasien pulang.
INDIKASI TRANSFER PASIEN :
1. GCS  8 SETELAH RESUSITASI.
2. PENURUNAN GCS  2.
3. TANDA-TANDA NEUROLOGIS FOKAL.
4. CEDERA PENETRATING.
5. FRAKTURA DEPRESSED.
6. FRAKTURA TERBUKA.
7. NYERI KEPALA, MUNTAH, BINGUNG MENETAP  2 JAM SETELAH MASUK R.S.
8. FRAKTURA DENGAN DEFISIT NEUROLOGIS.
9. FRAKTURA BASIS.
10. DITEMUKAN KELAINAN PADA CT.
Tidak dilakukan transfer pada mati batang otak.
INFORMASI PASIEN UNTUK TRANSFER :
1. NAMA DAN USIA.
2. MEKANISME DAN WAKTU CEDERA.
3. STATUS KARDIORESPIRATORI.
4. GCS.
5. RESPONS PUPIL.
6. POLA MOTOR.
7. PERUBAHAN OBSERVASI DASAR.
8. CEDERA NON SEREBRAL.
9. HASIL PEMERIKSAAN.
10. KELAINAN, OBAT, ALERGI SEBELUMNYA.
11. DOKTER PENGIRIM, ALAMAT, TELEPON.
PENGELOLAAN KOMA DAN PENINGGIAN TI.K.
1. INTUBASI DAN VENTILASI BILA GCS  8. PaCO2 25-30 mmHg. Periksa BGA berkala. Hiperventilasi wfwktif sekitar 8 jam.
2. PERFUSI OTAK.
3. ELEKTROLIT DAN CAIRAN I.V.
4. MANNITOL 20%I.V. 1 gr/kgBB dalam 20 menit. Diberikan untuk perburukan yang mengancam jiwa agar didapat waktu untuk transfer.
5. CEGAH KEPALA RENDAH. Usahakan kepala ditnggikan sekitar 200. Cegah fleksi leher – gangguan jalan nafas.
6. KORTIKOSTEROID TIDAK BERGUNA.
7. TRANSFER KEUNIT BEDAH SARAF.
CEDERA KEPALA PEDIATRIK :
SEPERTI DEWASA, NAMUN HARUS DIINGAT :
1. RESPONS GCS LEBIH SERING BERFLUKTUASI.
2. SULIT MENENTUKAN APAKAH ADA PENURUNAN KESADARAN SAAT CEDERA.
3. PEMBENGKAKAN OTAK LEBIH CEPAT : C.T.
4. MUDAH KEJANG WALAU CEDERA MINOR : CT.
5. BILA KEJANG SEGERA PULIH, TAK PERLU TH/.
6. PELINDUNG OTAK TIPIS, MUDAH PENETRASI.
7. KARAKTER TENGKORAK : CEDERA LOKAL.
8. ELASTISITAS TENGKORAK : TANPA FRAKTUR.
9. NILAI KEHILANGAN DARAH.
10. MUDAH BENGKAK : CEGAH OVER INFUS.
11. FONTANEL SEBAGAI PENDUGA T.I.K.
12. SERING CEDERA NON TRAUMATIK :
RIWAYAT PALSU.
13. GELISAH SAAT SCANNING : A. U.
CEDERA SPINAL.
1. PENGELOLAAN PRA RUMAH-SAKIT.
A. SELALU PIKIRKAN CEDERA SPINAL.
B. PENILAIAN KLINIS CEPAT :
a. POLA RESPIRASI.
b. GERAKAN VOLUNTER DAN SENSASI.
c. TONUS DAN REFLEKS OTOT.
C. EKSTRIKASI DARI KENDARAAN :
a. PERTAHANKAN ALIGNMENT SPINAL.
b. CEGAH GERAKAN PENAMBAH NYERI.
c. GUNAKAN C-COLLAR ATAU PENGGANTI.
D. TRANSPORT KE R.S. PRIMER.
a. SADAR : TERLENTANG ; SESAK : HEAD UP.
b. TAK SADAR : POSISI LATERAL.
c. ALAT PENGANGKAT/TRANSPORT LAYAK.
d. OKSIGEN.
2. PENGELOLAAN R.S. PRIMER.
A. RESUSITASI. WASPADA SHOK SPINAL.
B. SELALU PIKIRKAN CEDERA SPINAL.
a. MEKANISME CEDERA DAN GEJALA.
b. PEMERIKSAAN KLINIS :
1. TANDA VITAL : BRADIKARDI, HIPOTENSI.
2. POLA RESPIRASI.
3. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS :
• RESPON MOTOR.
• LEVEL SENSORI, PERINEAL.
• TAK SADAR : LEVEL KERINGAT.
• RESPONS PLANTAR.
• PRIAPISM.
• BAHU HIPER ELEVASI PADA CEDERA C.
• TONUS SFINGTER. RETENSI URINER.
C. X-RAY.
D. PIKIRKAN CEDERA LAIN.
E. KELOLA SHOK SPINAL :
a. CAIRAN I.V : CEGAH OVERTRANSFUSE.
b. METIL PREDNISOLON.
c. N.G.T.
d. KATETER. MONITOR OUTPUT URIN.
e. CEGAH HIPOKSIA.
f. CEGAH ULSERASI KULIT.
g. PERTAHANKAN NORMOTERMIA.
3. INDIKASI X-RAY.
a. PASIEN TIDAK SADAR.
1. C-LATERAL HINGGA T 1/2.
2. CT BILA ADA YANG TAK TAMPAK / #.
3. FOTO DINAMIK BILA DIDUGA INSTABIL.
4. T/L AP/LAT. BILA ADA INDIKASI.
b. PASIEN SADAR DENGAN NYERI LEHER.
1. AP/LAT/OBL/ODONTOID HINGGA T 1/2.
2. DINAMIK.
3. ULANG 1 & 2 SETELAH BEBERAPA HARI.
4. CT SEGMEN YANG CEDERA.
c. PASIEN SADAR DENGAN NYERI PUNGGUNG.
1. AP/LAT. T/L DAN PELVIS.
2. CT DAERAH # BILA MENEKAN KEKANAL.
3. CT KONTRAS BILA DUGA CEDERA U-GIT.
4. KRITERIA RAWAT.
SEMUA PASIEN DENGAN ATAU POTENSIAL CEDERA SPINAL.
5. RUMAH SAKIT YANG SESUAI :
a. R.S LOKAL : CEDERA JARINGAN LUNAK DAN FRAKTUR SPINAL MAJOR.
b. UNIT BEDAH SARAF/ ORTOPEDI :
• CEDERA MEDULA SPINAL / RADIKS SARAF.
• KERAGUAN STABILITAS SPINAL.
KEADAAN KHUSUS :
PENCEGAHAN INFEKSI INTRAKRANIAL :
1. RINOREA ATAU OTOREA : KULTUR DAN
TES SENSITIVITAS.
2. AEROSEL INTRAKRANIAL : ANTIBIOTIK.
3. CEDERA PENETRATING : TRANSFER.
GELISAH DAN ANALGESIA :
1. PASTIKAN PENYEBABNYA.
2. HANYA PARASETAMOL / KODEIN FOSFAT.
STATUS EPILEPTIKUS :
1. RAWAT JALAN NAFAS / INTUBASI.
2. KONTROL SIRKULASI.
3. TES DARAH UNTUK GLUKOSA,
ELEKTROLIT,
KALSIUM DAN
GAS DARAH.
4. BERIKAN 50 ML. GLUKOSA 50% IV.
5. DIAZEPAM I.V. 2-4 MG/MN. HINGGA KEJANG STOP ATAU TOTAL 30 MG.
6. INFUS FENITOIN I.V. PELAN ( 24 JAM.
5. TERAPI PROFLAKTIK KONTROVERSI.
LUKA SCALP :
1. CUKUR SEKITAR 3 SM. SEKELILING LUKA.
2. PALPASI HATI-HATI, CARI #.
3. BILA #, JANGAN ANGKAT FRAGMEN, TRANSFER.
4. HEMOSTASIS DAN JAHIT SEGERA.
5. BILA TEPI LUKA BURUK, EKSISI JARINGAN NON VIABEL, JAHIT 2 LAPIS.
CEDERA KEPALA MINOR : GCS 13-15.
RAWAT DAN OBSERVASI :
a. PERNAH KEHILANGAN KESADARAN.
b. TETAP KEBINGUNGAN.
c. 50 TAHUN.
d. ADA ATAU TIMBUL GEJALA NEUROLOGIS FOKAL.
e. NYERI KEPALA HEBAT  MUNTAH.
PULANGKAN CEDERA KEPALA MINOR :
1. TERORIENTASI WAKTU / TEMPAT.
2. TANPA DEFISIT NEUROLOGIS FOKAL.
3. TANPA NYERI KEPALA / MUNTAH.
4. TANPA # TENGKORAK.
5. ADA ORANG YANG BERTANGGUNG-JAWAB UNTUK MENGAWASI.
6. BERIKAN CHECKLIST.
KEMBALI KE R.S BILA :
a. MUNTAH.
b. NYERI KEPALA ATAU PUSING.
c. GELISAH, MENGANTUK, TAK SADAR.
d. KEJANG.
PENGELOLAAN KEPERAWATAN PADA NEUROTRAUMA AKUTA.
1. SURVEY PRIMER :
A. PENGELOLAAN JALAN NAFAS, FIKSASI C.
B. PERNAFASAN DIKONTROL.
C. SIRKULASI DIKONTROL.
D. PENILAIAN NEUROLOGIS :
• PENILAIAN DASAR TERMASUK GCS.
• UKURAN, REAKSI TERHADAP CAHAYA, SERTA EKUALITAS PUPIL.
• PERIKSA GERAK DAN KEKUATAN ANGGOTA.
E. T/N/R/S.
2. PENGELOLAAN KEPERAWATAN.
A. OKSIGEN.
B. ATASI HIPOTENSI.
C. PENILAIAN :
• GCS DAN TANDA VITAL SERIAL.
• LAPORKAN BILA GCS BERKURANG  2.
• LAPORKAN DEFISIT MOTOR; PERUBAHAN UKURAN, EKUALITAS, REAKSI TERHADAP SINAR DARI PUPIL.
D. CAIRAN:
• KATETER BILA TIDAK K.I.
• BALANS CAIRAN
E. TUBE INTRA GASTRIK BILA TIDAK K.I.
F. POSISI :
• C-COLLAR HINGGA DIBUKTIKAN TAK # .
• SETELAH HIPOTENSI TERATASI, ELEVASI KEPALA 15-30.
• TIDAK SADAR TANPA INTUBASI DAN CEDERA SPINAL SUDAH DISINGKIRKAN, RAWAT POSISI LATERAL.
G. PASIEN KONFUSI :
• TERAPI OKSIGEN.
• CEGAH SEDASI.
• PENGAMATAN KETAT.
H. KEBOCORAN CSS, LUKA TERBUKA :
• LAPORKAN SETIAP KEBOCORAN CAIRAN DARI TELINGA/HIDUNG.
• LUKA YANG TIDAK DIJAHIT, TUTUP DENGAN KASSA YANG DIBASAHI SALINE SAAT TRANSFER.
Petunjuk ini digunakan pada RS rural dimana pelayanan medis 24 jam tidak tersedia.
RESUME MENGELOLA CEDERA KEPALA BERAT.
1. AIRWAY + PROTEKSI C-SPINE.
2. BREATHING + OKSIGENASI.
3. ATASI SHOK, KONTROL PERDARAHAN.
4. PERTAHANKAN CAIRAN PASCA RESUSITASI.
5. PERIKSA NEUROLOGISDitulis pada Februari 21, 2008 oleh harnawatiaj

A.Definisi dan Etiologi
Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga.. trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan.
B.Mekanisme Cedera
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat-ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat benda tumpul, atau karena terkena lemparan benda tumpul. Cedar perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relative tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersaman bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar pada permukan otak, laserasi substansia alba, cedara robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedaea sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan intracranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
C.Klasifikasi Cedera Kepala
1.Klasifikasi Patologi Cedera Kepala
a.Cedera kepala primer
Cedera kepal primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal, dan cedera otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme etiologis dan patofisiologi yang unik.
1)Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak, naumun biasanya jejas ini bukan merupakan penyebab utama timbulnya kecacatan neurologis.
2)Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya dijumpai pada kira-kira separuh dari kasus cedera kepala berat. Kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.
3)Cedar otak difusa pada dasarnya berbeda dengan cedera fokal, di mana keadaan ini berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis. Mengingat bahwa kerusakan yang terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson, maka cedar ini juga dikenal dengan cedera aksional difusa.
b.Kerusakan otak sekunder
Cedera kepala berat seringkali menampilkan abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi, di mana keadaan-keadaan ini merupakan penyebab tersering dari kerusakan otak sekunder . hipoksia dan hipotensi semata akan menyebabkan perubahan-perubahan minimal, yang kemusian bersamaan dengan efek cedera mekanis memperberat gangguan-gangguan metabolisme serebral.
Hipoksia dapat merupaka akibat dari kejadian aspirasi, obstyruksi jalan nafas, atau cedera toraks yang terjadi bersamaan dengan trauma kepala, namun sering juga terjadi hipoksia pascacedera kepala dengan ventilasi normal dan tanpa adanya keadaan-keadaan tersebut di atas.
Hipotensi pada penderita cedera kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah konkusi atau merupaka tahap akhir dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan herniasi serebral.
c.Edema serebral
Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepal madalah edema vasogenik dan edema iskemik. Edema vasogenik disebabkan oleh adanya peningkatan oermeabilitas kapiler akibat sawar darah otak sehingga terjadi penimbunan cairan plasma ekstraseluler terutama di massa putih serebral. Edema iskemik merupakan penimbunan cairan intraseluler sehingga sel tersebut tidak dapat mempertahankan keseimbangan cairannya.
Edema serebral yang mencapai maksimal pada hari ke tiga pascacedera, dapat menimbulkan suatu efek massa yang bermakna. Di samping itu edema ini sendiri dapat juga terjadi, tanpa adanya tampilan suatu kontusi atau perdarahan intraserebral. Keadaan ini dapat terjadi akibat gangguan sekunder dari hipotensi sistemik dan hipoksia, cedera arterial atau hipertensi intracranial. Gangguan aliran darah serebral traumayika yang mengakibatkan anoksia jaringan juga tampil sebagai daerah “swelling” hipodens difus.
d.Pergeseran otak(Brain Shift)-herniasi batang otak
Adanya suatu massa yang berkembang membesar (hematom, abses atau pembengkakan otak) di semua lokasi dalam kavitas intracranial (epidural/subdural/intraserebral,supra-/infratentorial)biasanya akan menyebabkan pergeseran dan distorsi otak, yang bersamaan dengan peningkatan intracranial akan mengarah terjadi herniasi otak, keluar dari kompartemen intracranial di mana massa tersebut berada.
2.Klasifikasi Klinis Cedera Kepala
Cedera kepala pada praktek klinis sehari-hari dikelompokkan atas empat gradasi sehubungan dengan kepentingan seleksi perawatan penderita, pemantauan diagnostic-klinik penanganan dan prognosisnya, yaitu :
Tingkat I : bila dijumpai adanya riwayat kehilangan kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengakami trauma, dan kemudian sadar kembali. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik, dan tidak ada deficit neurologist.
Tingkat II : kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintah-perintah yang sederhana, dan dijumpai adanya deficit neurologist fokal.
Tingkat III : kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti perintah (walaupun sederhana)sana sekali. Penderita masih bisa bersuara , namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh gelisah. Respon motorik bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sakit sampai tidak ada respon sama sekali. Postur tubuh dapat menampilkan posisi dekortikasi-deserebrasi.
Tingkat IV : tidak ada fungsi neurologist sama sekali.
Kategori Penentuan Keparahan Cedera Kepala berdasarkan Nilai Glasgow Coma Scale(GCS).
Penentuan keparahan
Deskripsi
Frekuensi
Minor
Sedang
Berat
GCS 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio serebral, hematoma
GCS 9 – 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak
GCS 3 – 8
Kehilanmgan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intracranial.
55 %
24 %
21 %
D.Manifestasi Klinis
Trauma otak mempengaruhi setiap system tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik, dan perubahan tanda vital. Mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan, kejang, dan banyak efek lainnya. Karena cedera SSP sendiri tidak meyebabkan syok, adanya syok hipovolemik menunjukkan kemungkinan cedera multisistem.
E.Evaluasi Diagnostik
F.Penanganan Cedera Kepala
Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat/emergensi didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6 B”, yakni :
1.Breathing
Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan : suction, intubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edem serebri.
2.Blood
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu peninggian tekanan intracranial; sebaliknya tekanan darah yang menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok mhipovolemik akibat perdarahan (yang kebanyakan bukan dari kepala/otak)dan memerlukan tindakan transfusi.
3.Brain
Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik, dan verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi perbaikan/perburukan cedera kepal tersebut, dan bila pada pemantauan menunjukkan adanya perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebnih mendalam mengenai keadaan pupil(ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata.
4.Bladder
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan(pemasangan kateter) mengingat bahwa kandung kemih yang epnuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.
5.Bowel
Seperti halnya di atas, bahwa usus yang penuh juga cenderung untuk meninggikan TIK.
6.Bone
Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi
DIarsipkan di bawah: 9. SYARAF ZONE
TRAUMA MEDULA SPINALIS
PENDAHULUAN
Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu terjadinya fraktur pada tuylang belakang pada tulang belakang ,ligamentum longitudainalis posterior dan duramater bisa robek,bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah kemedula spinalis dapat ikut terputus .
Cedera sumsum tulang belakang merupakan kelainan yang pada masa [...]
TRAUMATOLOGI
Trauma atau kecelakaan merupakan hal yang biasa dijumpai dalam kasus forensik. Hasil dari trauma atau kecelakaan adalah luka, perdarahan dan/atau skar atau hambatan dalam fungsi organ. Agen penyebab trauma diklasifikasikan dalam beberapa cara, antaralain kekuatan mekanik, aksi suhu, agen kimia, agen elektromagnet, asfiksia dan trauma emboli. Dalam prakteknya nanti seringkali terdapat kombinasi trauma yang disebabkan oleh satu jenis penyebab, sehingga klasifikasi trauma ditentukan oleh alat penyebab dan usaha yang menyebabkan trauma.
Trauma Tumpul
Dua variasi utama dalam trauma tumpul adalah:
1. Benda tumpul yang bergerak pada korban yang diam.
2. Korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam.
Sekilas nampak sama dalam hasil lukanya namun jika diperhatikan lebih lanjut terdapat perbedaan hasil pada kedua mekanisme itu.
Organ atau jaringan pada tubuh mempunyai beberapa cara menahan kerusakan yang disebabkan objek atau alat, daya tahan tersebut menimbulkan berbagai tipe luka.
1. Abrasi
2. Laserasi
3. Kontusi/ruptur
4. Fraktur
5. Kompresi
6. Perdarahan
Abrasi
Abrasi per definisi adalah pengelupasan kulit. Dapat terjadi superfisial jika hanya epidermis saja yang terkena, lebih dalam ke lapisan bawah kulit (dermis)atau lebih dalam lagi sampai ke jaringan lunak bawah kulit. Jika abrasi terjadi lebih dalam dari lapisan epidermis pembuluh darah dapat terkena sehingga terjadi perdarahan. Arah dari pengelupasan dapat ditentukan dengan pemeriksaan luka. Dua tanda yang dapat digunakan. Tanda yang pertama adalah arah dimana epidermis bergulung, tanda yang kedua adalah hubungan kedalaman pada luka yang menandakan ketidakteraturan benda yang mengenainya.
Pola dari abrasi sendiri dapat menentukan bentuk dari benda yang mengenainya. Waktu terjadinya luka sendiri sulit dinilai dengan mata telanjang. Perkiraan kasar usia luka dapat ditentukan secara mikroskopik. Kategori yang digunakan untuk menentukan usia luka adalah saat ini (beberapa jam sebelum), baru terjadi (beberapa jam sebelum sampai beberapa hari), beberapa hari lau, lebih dari benerapa hari. Efek lanjut dari abrasi sangat jarang terjadi. Infeksi dapat terjadi pada abrasi yang luas.
Kontusio Superfisial
Kata lazim yang digunakan adalah memar, terjadi karena tekanan yang besar dalam waktu yang singkat. Penekanan ini menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil dan dapat menimbulkan perdarahan pada jaringan bawah kulit atau organ dibawahnya. Pada orang dengan kulit berwarna memar sulit dilihat sehingga lebih mudah terlihat dari nyeri tekan yang ditimbulkannya.
Perubahan warna pada memar berhubungan dengan waktu lamanya luka, namun waktu tersebut bervariasi tergantung jenis luka dan individu yang terkena. Tidak ada standart pasti untuk menentukan lamanya luka dari warna yang terlihat secara pemeriksaan fisik.
Pada mayat waktu antara terjadinya luka memar, kematian dan pemeriksaan menentukan juga karekteristik memar yang timbul. Semakin lama waktu antara kematian dan pemeriksaan luka akan semakin membuat luka memar menjadi gelap.
Pemeriksaan mikroskopik adalah sarana yang dapat digunakan untuk menentukan waktu terjadinya luka sebelum kematian. Namun sulit menentukan secara pasti karena hal tersebut pun bergantung pada keahlian pemeriksa.
Efek samping yang terjadi pada luka memar antara lain terjadinya penurunan darah dalam sirkulasi yang disebabkan memar yang luas dan masif sehingga dapat menyebabkan syok, penurunan kesadaran, bahkan kematian. Yang kedua adalah terjadinya agregasi darah di bawah kulit yang akan mengganggu aliran balik vena pada organ yang terkena sehingga dapat menyebabkan ganggren dan kematian jaringan. Yang ketiga, memar dapat menjadi tempat media berkembang biak kuman. Kematian jaringan dengan kekurangan atau ketiadaaan aliran darah sirkulasi menyebabkan saturasi oksigen menjadi rendah sehingga kuman anaerob dapat hidup, kuman tersering adalah golongan clostridium yang dapat memproduksi gas gangren.
Efek lanjut lain dapat timbul pada tekanan mendadak dan luas pada jaringan subkutan. Tekanan yang mendadak menyebabkan pecahnya sel – sel lemak, cairan lemak kemudian memasuki peredaran darah pada luka dan bergerak beserta aliran darah dapat menyebabkan emboli lemak pulmoner atau emboli pada organ lain termasuk otak. Pada mayat dengan kulit yang gelap sehingga memar sulit dinilai sayatan pada kulit untuk mengetahui resapan darah pada jaringan subkutan dapat dilakukan dan dilegalkan.
Kontusio pada organ dan jaringan dalam
Semua organ dapat terjadi kontusio. Kontusio pada tiap organ memiliki karakteristik yang berbeda. Pada organ vital seperti jantung dan otak jika terjadi kontusio dapat menyebabkan kelainan fungsi dan bahkan kematian.
Kontusio pada otak, dengan perdarahan pada otak, dapat menyebabkan terjadi peradangan dengan akumulasi bertahap produk asam yang dapat menyebabkan reaksi peradangan bertambah hebat. Peradangan ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran, koma dan kematian. Kontusio dan perangan yang kecil pada otak dapat menyebabkan gangguan fungsi organ lain yang luas dan kematian jika terkena pada bagian vital yang mengontrol pernapasan dan peredaran darah.
Jantung juga sangat rentan jika terjadi kontusio. Kontusio ringan dan sempit pada daeran yang bertanggungjawab pada inisiasi dan hantaran impuls dapat menyebabkan gannguan pada irama jantung atau henti jantung. Kontusio luas yang mengenai kerja otot jantung dapat menghambat pengosongan jantung dan menyebabkan gagal jantung.
Kontusio pada organ lain dapat menyebabkan ruptur organ yang menyebabkan perdarahan pada rongga tubuh.
Laserasi
Suatu pukulan yang mengenai bagian kecil area kulit dapat menyebabkan kontusio dari jaringan subkutan, seperti pinggiran balok kayu, ujung dari pipa, permukaan benda tersebut cukup lancip untuk menyebabkan sobekan pada kulit yang menyebabkan laserasi. Laserasi disebabkan oleh benda yang permukaannya runcing tetapi tidak begitu tajam sehingga merobek kulit dan jaringan bawah kulit dan menyebabkan kerusakan jaringan kulit dan bawah kulit. Tepi dari laserasi ireguler dan kasar, disekitarnya terdapat luka lecet yang diakibatkan oleh bagian yang lebih rata dari benda tersebut yang mengalami indentasi.
Pada beberapa kasus, robeknya kulit atau membran mukosa dan jaringan dibawahnya tidak sempurna dan terdapat jembatan jaringan. Jembatan jaringan, tepi luka yang ireguler, kasar dan luka lecet membedakan laserasi dengan luka oleh benda tajam seperti pisau. Tepi dari laserasi dapat menunjukkan arah terjadinya kekerasan. Tepi yang paling rusak dan tepi laserasi yang landai menunjukkan arah awal kekerasan. Sisi laserasi yang terdapat memar juga menunjukkan arah awal kekerasan.
Bentuk dari laserasi dapat menggambarkan bahan dari benda penyebab kekerasan tersebut. Karena daya kekenyalan jaringan regangan jaringan yang berlebihan terjadi sebelum robeknya jaringan terjadi. Sehingga pukulan yang terjadi karena palu tidak harus berbentuk permukaan palu atau laserasi yang berbentuk semisirkuler. Sering terjadi sobekan dari ujung laserasi yang sudutnya berbeda dengan laserasi itu sendiri yang disebut dengan “swallow tails”. Beberapa benda dapat menghasilkan pola laserasi yang mirip.
Seiring waktu, terjadi perubahan terhadap gambaran laserasi tersebut, perubahan tersebut tampak pada lecet dan memarnya. Perubahan awal yaitu pembekuan dari darah, yang berada pada dasar laserasi dan penyebarannya ke sekitar kulit atau membran mukosa. Bekuan darah yang bercampur dengan bekuan dari cairan jaringan bergabung membentuk eskar atau krusta. Jaringan parut pertama kali tumbuh pada dasar laserasi, yang secara bertahap mengisi saluran luka. Kemudian, epitel mulai tumbuh ke bawah di atas jaringan skar dan penyembuhan selesai. Skar tersebut tidak mengandung apendises meliputi kelenjar keringat, rambut dan struktur lain.
Perkiraan kejadian saat kejadian pada luka laserasi sulit ditentukan tidak seperti luka atau memar. Pembagiannya adalah sangat segera segera, beberapa hari, dan lebih dari beberapa hari. Laserasi yang terjadi setelah mati dapat dibedakan ddengan yang terjadi saat korban hidup yaitu tidak adanya perdarahan.
Laserasi dapat menyebabkan perdarahan hebat. Sebuah laserasi kecil tanpa adanya robekan arteri dapat menyebabkan akibat yang fatal bila perdarahan terjadi terus menerus. Laserasi yang multipel yang mengenai jaringan kutis dan sub kutis dapat menyebabkan perdarahan yang hebat sehingga menyebabkan sampai dengan kematian. Adanya diskontinuitas kulit atau membran mukosa dapat menyebabkan kuman yang berasal dari permukaan luka maupun dari sekitar kulit yang luka masuk ke dalam jaringan. Port d entree tersebut tetap ada sampai dengan terjadinya penyembuhan luka yang sempurna. Bila luka terjadi dekat persendian maka akan terasa nyeri, khususnya pada saat sendi tersebut di gerakkan ke arah laserasi tersebut sehingga dapat menyebabkan disfungsi dari sendi tersebut. Benturan yang terjadi pada jaringan bawah kulit yang memiliki jaringan lemak dapat menyebabkan emboli lemak pada paru atau sirkulasi sistemik. Laserasi juga dapat terjadi pada organ akibat dari tekanan yang kuat dari suatu pukulan seperi pada organ jantung, aorta, hati dan limpa.
Hal yang harus diwaspadai dari laserasi organ yaitu robekan yang komplit yang dapat terjadi dalam jangka waktu lama setelah trauma yang dapat menyebabkan perdarahan hebat.
Kombinasi dari luka lecet, memar dan laserasi
Luka lecet, memar dan laserasi dapat terjadi bersamaan. Benda yang sama dapat menyebabkan memar pada pukulan pertama, laserasi pada pukulan selanjutnya dan lecet pada pukulan selanjutnya. Tetapi ketiga jenis luka tersebut dapat terjadi bersamaan pada satu pukulan.
Fraktur
Fraktur adalah suatu diskontinuitas tulang. Istilah fraktur pada bedah hanya memiliki sedikit makna pada ilmu forensik. Pada bedah, fraktur dibagi menjadi fraktur sederhana dan komplit atau terbuka.
Terjadinya fraktur selain disebabkan suatu trauma juga dipengaruhi beberapa faktor seperti komposisi tulang tersebut. Anak-anak tulangnya masih lunak, sehingga apabila terjadi trauma khususnya pada tulang tengkorak dapat menyebabkan kerusakan otak yang hebat tanpa menyebabkan fraktur tulang tengkorak. Wanita usia tua sering kali telah mengalami osteoporosis, dimana dapat terjadi fraktur pada trauma yang ringan.
Pada kasus dimana tidak terlihat adanya deformitas maka untuk mengetahui ada tidaknya fraktur dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan sinar X, mulai dari fluoroskopi, foto polos. Xero radiografi merupakan teknik lain dalam mendiagnosa adanya fraktur.
Fraktur mempunyai makna pada pemeriksaan forensik. Bentuk dari fraktur dapat menggambarkan benda penyebabnya (khususnya fraktur tulang tengkorak), arah kekerasan. Fraktur yang terjadi pada tulang yang sedang mengalami penyembuhan berbeda dengan fraktur biasanya. Jangka waktu penyembuhan tulang berbeda-beda setiap orang. Dari penampang makros dapat dibedakan menjadi fraktur yang baru, sedang dalam penyembuhan, sebagian telah sembuh, dan telah sembuh sempurna. Secara radiologis dapat dibedakan berdasarkan akumulasi kalsium pada kalus. Mikroskopis dapat dibedakan daerah yang fraktur dan daerah penyembuhan. Penggabungan dari metode diatas menjadikan akurasi yang cukup tinggi. Daerah fraktur yang sudah sembuh tidaklah dapat menjadi seperti tulang aslinya.
Perdarahan merupakan salah satu komplikasi dari fraktur. Bila perdarahan sub periosteum terjadi dapat menyebabkan nyeri yang hebat dan disfungsi organ tersebut. Apabila terjadi robekan pembuluh darah kecil dapat menyebabkan darah terbendung disekitar jaringan lunak yang menyebabkan pembengkakan dan aliran darah balik dapat berkurang. Apabila terjadi robekan pada arteri yang besar terjadi kehilangan darah yang banyak dan dapat menyebabkan pasien shok sampai meninggal. Shok yang terjadi pada pasien fraktur tidaklah selalu sebanding dengan fraktur yang dialaminya.
Selain itu juga dapat terjadi emboli lemak pada paru dan jaringan lain. Gejala pada emboli lemak di sereberal dapat terjadi 2-4 hari setelah terjadinya fraktur dan dapat menyebabkan kematian. Gejala pada emboli lemak di paru berupa distres pernafasan dapat terjadi 14-16 jam setelah terjadinya fraktur yang juga dapat menyebabkan kematian. Emboli sumsum tulan atau lemak merupakan tanda antemortem dari sebuah fraktur.
Fraktur linier yang terjadi pada tulang tengkorak tanpa adanya fraktur depresi tidaklah begitu berat kecuali terdapat robekan pembuluh darah yang dapat membuat hematom ekstra dural, sehingga diperlukan depresi tulang secepatnya. Apabila ujung tulang mengenai otak dapat merusak otak tersebut, sehingga dapat terjadi penurunan kesadaran, kejang, koma hingga kematian.
Kompresi
Kompresi yang terjadi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan efek lokal maupun sistemik yaitu asfiksia traumatik sehingga dapat terjadi kematiaan akibat tidak terjadi pertukaran udara.
Perdarahan
Perdarahan dapat muncul setelah terjadi kontusio, laserasi, fraktur, dan kompresi. Kehilangan 1/10 volume darah tidak menyebabkan gangguan yang bermakna. Kehilangan ¼ volume darah dapat menyebabkan pingsan meskipun dalam kondisi berbaring. Kehilangan ½ volume darah dan mendadak dapat menyebabkan syok yang berakhir pada kematian. Kecepatan perdarahan yang terjadi tergantung pada ukuran dari pembuluh darah yang terpotong dan jenis perlukaan yang mengakibatkan terjadinya perdarahan. Pada arteri besar yang terpotong, akan terjadi perdarahan banyak yang sulit dikontrol oleh tubuh sendiri.Apabila luka pada arteri besar berupa sayatan, seperti luka yang disebabkan oleh pisau, perdarahan akan berlangsung lambat dan mungkin intermiten. Luka pada arteri besar yang disebabkan oleh tembakan akan mengakibatkan luka yang sulit untuk dihentikan oleh mekanisme penghentian darah dari dinding pembuluh darah sendiri. Hal ini sesuai dengan prinsip yang telah diketahui, yaitu perdarahan yang berasal dari arteri lebih berisiko dibandingkan perdarahan yang berasal dari vena.
Hipertensi dapat menyebabkan perdarahan yang banyak dan cepat apabila terjadi perlukaan pada arteri. Adanya gangguan pembekuan darah juga dapat menyebabkan perdarahan yang lama. Kondisi ini terdapat pada orang-orang dengan penyakit hemofili dan gangguan pembekuan darah, serta orang-orang yang mendapat terapi antikoagulan. Pecandu alcohol biasanya tidak memiliki mekanisme pembekuan darah yang normal, sehingga cenderung memiliki perdarahan yang berisiko. Investigasi terhadap kematian yang diakibatkan oleh perdarahan memerlukan pemeriksaan lengkap seluruh tubuh untuk mencari penyakit atau kondisi lain yang turut berperan dalam menciptakan atau memperberat situasi perdarahan.
Cedera Kepala
Cedera Kepala pada Penutup Otak
Jaringan otak dilindungi oleh 3 lapisan jaringan. Lapisan paling luar disebut duramater, atau sering dikenal sebagai dura. Lapisan ini tebal dan lebih dekat berhubungan dengan tengkorak kepala dibandingakan otak. Antara tengkorak dan dura terdapat ruang yang disebut ruang epidural atau ekstradural. Ruang ini penting dalam bidang forensik.
Lapisan yang melekat langsung ke otak disebut piamater. Lapisan ini sangat rapuh, melekat pada otak dan meluas masuk ke dalam sulkus-sulkus otak. Lapisan ini tidak terlalu penting dalam bidang forensik.
Lapisan berikutnya yang terletak antara dura mater dan pia mater disebut arakhnoid. Ruang yang dibentuk antara lapisan dura mater dan arakhnoid ini disebut ruang subdural. Kedalaman ruang ini bervariasi di beberapa tempat. Perlu diingat, cairan otak terdapat pada ruang subarakhnoid, bukan di ruang subdural.
Perdarahan kepala dapat terjadi pada ketiga ruang yaitu ruang epidural, subdural atau ruang subarakhnoid, atau pada otak itu sendiri.
Perdarahan Epidural (Hematoma)
Perdarahan jenis ini berhubungan erat dengan fraktur pada tulang tengkorak. Apabila fraktur mengenai jalinan pembuluh darah kecil yang dekat dengan bagian dalam tengkorak, umumnya arteri meningea media, dapat menyebabkan arteri terkoyak dan terjadi perdarahan yang cepat. Kumpulan darah akhirnya mendorong lapisan dura menjauh dari tengkorak dan ruang epidural menjadi lebih luas. Akibat dari lapisan dura yang terdorong ke dalam, otak mendapatkan kompresi atau tekanan yang akhirnya menimbulkan gejala-gejala seperti nyeri kepala, penurunan kesadaran bertahap mulai dari letargi, stupor dan akhirnya koma. Kematian akan terjadi bila tidak dilakukan terapi dekompresi segera. Waktu antara timbulnya cedera kepala sampai munculnya gejala-gejala yang diakibatkan perdarahan epidural disebut sebagai “lucid interval”
Perdarahan Subdural (Hematoma)
Perdarahan ini timbul apabila terjadi “bridging vein” yang pecah dan darah berkumpul di ruang subdural. Perdarahan ini juga dapat menyebabkan kompresi pada otak yang terletak di bawahnya. Karena perdarahan yang timbul berlangsung perlahan, maka “lucid interval” juga lebih lama dibandingkan perdarahan epidural, berkisar dari beberapa jam sampai beberapa hari. Jumlah perdarahan pada ruang ini berkisar dibawah 120 cc, sehingga tidak menyebabkan perdarahan subdural yang fatal.
Tidak semua perdarahan epidural atau subdural bersifat letal. Pada beberapa kasus, perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang dapat menyebabkan kompresi pada otak, sehingga hanya menimbulkan gejala-gejala yang ringan. Pada beberapa kasus yang lain, memerlukan tindakan operatif segera untuk dekompresi otak.
Penyembuhan pada perdarahan subdural dimulai dengan terjadinya pembekuan pada perdarahan. Pembentukan skar dimulai dari sisi dura dan secara bertahap meluas ke seluruh permukaan bekuan. Pada waktu yang bersamaan, darah mengalami degradasi. Hasil akhir dari penyembuhan tersebut adalah terbentuknya jaringan skar yang lunak dan tipis yang menempel pada dura. Sering kali, pembuluh dara besar menetap pada skar, sehingga membuat skar tersebut rentan terhadap perlukaan berikutnya yang dapat menimbulkan perdarahan kembali. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan pada perdarahan subdural ini bervariasi antar individu, tergantung pada kemampuan reparasi tubuh setiap individu sendiri.
Hampir semua kasus perdarahan subdural berhubungan dengan trauma, meskipun dapat tidak berhubungan dengan trauma. Perdarahan ini dapat terjadi pada orang-orang dengan gangguan mekanisme pembekuan darah atau pada pecandu alcohol kronik, meskipun tidak menyebabkan perdarahan yang besar dan berbahaya. Pada kasus-kasus perdarahan subdural akibat trauma, dapat timbul persarahan kecil yang tidak berisiko apabila terjadi pada orang normal. Akan tetapi, pada orang-orang yang memiliki gangguan pada mekanisme pembekuan darah, dapat bersifat fatal.
Adakalanya juga perdarahan subdural terjadi akibat perluasan dari perdarahan di tempat lain. Salah satu contohnya adalah perdarahan intraserebral yang keluar dari substansi otak melewati pia mater, kemudian masuk dan menembus lapisan arakhnoid dan mencapai ruang subdural.
Perdarahan Subarakhnoid
Penyebab perdarahan subarakhnoid yang tersering ada 5, dan terbagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu yang disebabkan trauma dan yang tidak berhubungan dengan trauma. Penyebabnya antara lain:
1. Nontraumatik:
a. Ruptur aneurisma pada arteri yang memperdarahi otak
b. Perdarahan intraserebral akibat stroke yang memasuki subarakhnoid
2. Traumatik:
a. Trauma langsung pada daerah fokal otak yang akhirnya menyebabkan perdarahan subarakhnoid
b. Trauma pada wajah atau leher dengan fraktur pada tulang servikal yang menyebabkan robeknya arteri vertebralis
c. Robeknya salah satu arteri berdinding tipis pada dasar otak yang diakibatkan gerakan hiperekstensi yang tiba-tiba dari kepala.
Arteri yang lemah dan membengkak seperti pada aneurisma, sangat rapuh dindingnya dibandingkan arteri yang normal. Akibatnya, trauma yang ringan pun dapat menyebabkan ruptur pada aneurisma yang mengakibatkan banjirnya ruang subarakhnoid dengan darah dan akhirnya menimbulkan disfungsi yang serius atau bahkan kematian.
Yang menjadi teka-teki pada bagian forensik adalah, apakah trauma yang menyebabkan ruptur pada aneurisma yang sudah ada, atau seseorang mengalami nyeri kepala lebih dahulu akibat mulai pecahnya aneurisma yang menyebabkan gangguan tingkah laku berupa perilaku mudah berkelahi yang berujung pada trauma. Contoh yang lain, apakah seseorang yang jatuh dari ketinggian tertentu menyebabkan ruptur aneurisma, atau seseorang tersebut mengalami ruptur aneurisma terlebih dahulu yang menyebabkan perdarahan subarakhnoid dan akhirnya kehilangan kesadaran dan terjatuh. Pada beberapa kasus, investigasi yang teliti disertai dengan otopsi yang cermat dapat memecahkan teka-teki tersebut.
Perdarahan subarakhnoid ringan yang terlokalisir dihasilkan dari tekanan terhadap kepala yang disertai goncangan pada otak dan penutupnya yang ada di dalam tengkorak. Tekanan dan goncangan ini menyebabkan robeknya pembuluh-pembuluh darah kecil pada lapisan subarakhnoid, dan umumnya bukan merupakan perdarahan yang berat. Apabila tidak ditemukan faktor pemberat lain seperti kemampuan pembekuan darah yang buruk, perdarahan ini dapat menceritakan atau mengungkapkan tekanan trauma yang terjadi pada kepala.
Jarang sekali, tamparan pada pada sisi samping kepala dan leher dapat mengakibatkan fraktur pada prosesus lateralis salah satu tulang cervical superior. Karena arteri vertebralis melewati bagian atas prosesus lateralis dari vertebra di daerah leher, maka fraktur pada daerah tersebut dapat menyebabkan robeknya arteri yang menimbulkan perdarahan masif yang biasanya menembus sampai lapisan subarakhnoid pada bagian atas tulang belakang dan akhirnya terjadi penggenangan pada ruang subarakhnoid oleh darah. Aliran darah ke atas meningkat dan perdarahan meluas sampai ke dasar otak dan sisi lateral hemisfer serebri. Pada beberapa kasus, kondisi ini sulit dibedakan dengan perdarahan nontraumatikyang mungkin disebabkan oleh ruptur aneurisma.
Tipe perdarahan subarakhnoid traumatic yang akan dibicarakan kali ini merupakan tipe perdarahan yang massif. Perdarahan ini melibatkan dasar otak dan meluas hingga ke sisi lateral otak sehingga serupa dengan perdarahan yang berhubungan dengan aneurisma pada arteri besar yang terdapat di dasar otak.Akan tetapi, pada pemeriksaan yang cermat dan teliti, tidak ditemukan adanya aneurisma, sedangkan arteri vertebralis tetap intak. Penyebab terjadinya perdarahan diduga akibat pecahnya pembuluh darah berdinding tipis pada bagian bawah otak, serta tidak terdapat aneurisma. Terdapat 2 bukti, meskipun tidak selalu ada, yang bisa mendukung dugaan apakah kejadian ini murni dimulai oleh trauma terlebih dahulu. Bukti pertama yaitu adanya riwayat gerakan hiperekstensi tiba-tiba pada daerah kepala dan leher, yang nantinya dapat menyebabkan kolaps dan bahkan kematian.
Kontusio otak
Hampir seluruh kontusio otak superfisial, hanya mengenai daerah abu-abu. Beberapa dapat lebih dalam, mengenai daerah putih otak. Kontusio pada bagian superfisial atau daerah abu-abu sangat penting dalam ilmu forensik. Rupturnya pembuluh darah dengan terhambatnya aliran darah menuju otak menyebabkan adanya pembengkakan dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lingkaran kekerasan dapat terbentuk apabila kontusio yang terbentuk cukup besar, edema otak dapat menghambat sirkulasi darah yang menyebabkan kematian otak, koma, dan kematian total. Poin kedua terpenting dalam hal medikolegal adalah penyembuhan kontusio tersebut yang dapat menyebabkan jaringan parut yang akan menyebabkan adanya fokus epilepsi.
Yang harus dipertimbangan adalah lokasi kontusio tipe superfisial yang berhubungan dengan arah kekerasan yang terjadi. Hal ini bermakna jika pola luka ditemukan dalam pemeriksaan kepala dan komponen yang terkena pada trauma sepeti pada kulit kepala, kranium, dan otak.
Ketika bagian kepala terkena benda yang keras dan berat seperti palu atau botol bir, hasilnya dapat berupa, kurang lebihnya, yaitu abrasi, kontusio, dan laserasi dari kulit kepala. Kranium dapat patah atau tidak. Jika jaringan dibawahnya terkena, hal ini disebut coup. Hal ini terjadi saat kepala relatif tidak bergerak.
Kita juga harus mempertimbangkan situasi lainnya dimana kepala yang bergerak mengenai benda yang padat dan diam. Pada keadaan ini kerusakan pada kulit kepala dan pada kranium dapat serupa dengan apa yang ditemukan pada benda yang bergerak-kepala yang diam. Namun, kontusio yang terjadi, bukan pada tempat trauma melainkan pada sisi yang berlawanan. Hal ini disebut kontusio contra-coup.
Pemeriksaan kepala penting untuk mengetahui pola trauma. Karena foto dari semua komponen trauma kepala dari berbagai tipe kadang tidak tepat sesuai dengan demontrasi yang ada., diagram dapat menjelaskan hubungan trauma yang terjadi.
Kadang-kadang dapat terjadi hal yang membingungkan, dapat saja kepala yang diam dan terkena benda yang bergerak pada akhirnya akan jatuh atau mengenai benda keras lainnya, sehingga gambaran yang ada akan tercampur, membingungkan, yang tidak memerlukan penjelasan mendetail.
Tipe lain kontusio adalah penetrasi yang lebih dalam, biasanya mengenai daerah putih atau abu-abu, diliputi oleh lapisan normal otak, dengan perdarahan kecil atau besar. Perdarahan kecil dinamakan ‘ball hemorrhages’ sesuai dengan bentuknya yang bulat. Hal tersebut dapat serupa dengan perdarahan fokal yang disebabkan hipertensi. Perdarahan yang lebih besar dan dalam biasanya berbentuk ireguler dan hampir serupa dengan perdarahan apopletik atau stroke. Anamnesis yang cukup mengenai keadaan saat kematian, ada atau tiadanya tanda trauma kepala, serta adanya penyakit penyerta dapat membedakan trauma dengan kasus lain yang menyebabkan perdarahan.
Perdarahan intraserebral tipe apopletik tidak berhubungan dengan trauma biasanya melibatkan daerah dengan perdarahan yang dalam. Tempat predileksinya adalah ganglia basal, pons, dan serebelum. Perdahan tersebut berhubungan dengan malformasi arteri vena. Biasanya mengenai orang yang lebih muda dan tidak mempunyai riwayat hipertensi.
Edema paru tipe neurogenik biasanya menyertai trauma kepala. Manifestasi eksternal yang dapat ditemui adalah ‘foam cone’ busa berwarna putih atau merah muda pada mulut dan hidung. Hal tersebut dapat ditemui pada kematian akibat tenggelam, overdosis, penyakit jantung yang didahului dekompensasio kordis. Keberadaan gelembung tidak membuktikan adanya trauma kepala.
Pola trauma
Terdapat beberapa pola trauma akibat kekerasan tumpul yang dapat dikenali, yang mengarah kepada kepentingan medikolegal. Contohnya :
1. Luka terbuka tepi tidak rata pada kulit akibat terkena kaca spion pada saat terjadi kecelakaan, Ketika terjadi benturan, kaca spion tersebut akan menjadi fragmen-fagmen kecil. Luka yang terjadi dapat berupa abrasi, kontusio, dan laserasi yang berbentuk segiempat atau sudut.
2. Pejalan kaki yang ditabrak kendaraan bermotor biasanya mendapatkan fraktur tulang panjang kaki. Hal ini disebut ‘bumper fractures’. Adanya fraktur tersebut yang disertai luka lainnya pada tubuh yang ditemukan di pinggir jalan, memperlihatkan bahwa korban adalah pejalan kaki yang ditabrak oleh kendaraan bermotor dan dapat diketahui tinggi bempernya. Karena hampir seluruh kendaraan bermotor ‘nose dive’ ketika mengerem mendadak, pengukuran ketinggian bemper dan tinggi fraktur dari telapak kaki, dapat mengindikasikan usaha pengendara kendaraan bermotor untuk mengerem pada saat kecelakaan terjadi.
3. Penderita serangan jantung yang terjatuh dapat diketahui dengan adanya pola luka pada dan di bawah area ‘hat band’ dan biasanya terbatas pada satu sisi wajah. Dengan adanya pola tersebut mengindikasikan jatuh sebagai penyebab, bukan karena dipukul.
4. Pukulan pada daerah mulut dapat lebih terlihat dari dalam. Pukulan yang kepalan tangan, luka tumpul yang terjadi dapat tidak begitu terlihat dari luar, namun menimbulkan edem jaringan pada bagian dalam, tepat di depan gigi geligi. Frenum pada bibir atas kadang rusak, terutama bila korban adalah bayi yang sering mendapat pukulan pada kepala
Pola trauma banyak macamnya dan dapat bercerita pada pemeriksa medikolegal. Kadangkala sukar dikenali, bukan karena korban tidak diperiksa, namun karena pemeriksa cenderung memeriksa area per area , dan gagal mengenali polanya. Foto korban dari depan maupun belakang cukup berguna untuk menetukan pola trauma. Persiapan diagram tubuh yang memperlihatkan grafik lokasi dan penyebab trauma adalah latihan yang yang baik untuk mengungkapkan pola trauma.
TRAUMA TAJAM
Benda tajam seperti pisau, pemecah es, kapak, pemotong, dan bayonet menyebabkan luka yang dapa dikenali oleh pemeriksa. Tipe lukanya akan dibahas di bawah ini :
Luka insisi
Luka insisi disebabkan gerakan menyayat dengan benda tajam seperti pisau atau silet. Karena gerakan dari benda tajam tersebut, luka biasanya panjang, bukan dalam. Panjang dan kedalaman luka dipengaruhi oleh gerakan benda tajam, kekuatannya, ketajaman, dan keadaan jaringan yang terkena. Karakteristik luka ini yang membedakan dengan laserasi adalah tepinya yang rata.
Luka tusuk
Luka tusuk disebabkan oleh benda tajam dengan posisi menusuk atau korban yang terjatuh di atas benda tajam. Bila pisau yang digunakan bermata satu, maka salah satu sudut akan tajam, sedangkan sisi lainnya tumpul atau hancur. Jika pisau bermata dua, maka kedua sudutnya tajam.
Penampakan luar luka tusuk tidak sepenuhnya tergantung dari bentuk senjata. Jaringan elastis dermis, bagian kulit yang lebih dalam, mempunyai efek yang sesuai dengan bentuk senjata. Harus dipahami bahwa jaringan elastis terbentuk dari garis lengkung pada seluruh area tubuh. Jika tusukan terjadi tegak lurus garis tersebut, maka lukanya akan lebar dan pendek. Sedangkan bila tusukan terjadi paralel dengan garis tersebut, luka yang terjadi sempit dan panjang.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi bentuk luka tusuk, salah satunya adalah reaksi korban saat ditusuk atau saat pisau keluar, hal tersebut dapat menyebabkan lukanya menjadi tidak begitu khas. Atau manipulasi yang dilakukan pada saat penusukan juga akan mempengaruhi. Beberapa pola luka yang dapat ditemukan :
1. Tusukan masuk, yang kemudian dikeluarkan sebagian, dan kemudian ditusukkan kembali melalui saluran yang berbeda. Pada keadaan tersebut luka tidak sesuai dengan gambaran biasanya dan lebih dari satu saluran dapat ditemui pada jaringan yang lebih dalam maupun pada organ.
2. Tusukan masuk kemudian dikeluarkan dengan mengarahkan ke salah satu sudut, sehingga luka yang terbentuk lebih lebar dan memberikan luka pada permukaan kulit seperti ekor.
3. Tusukan masuk kemuadian saat masih di dalam ditusukkan ke arah lain, sehingga saluran luka menjadi lebih luas. Luka luar yang terlihat juga lebih luas dibandingkan dengan lebar senjata yang digunakan.
4. Tusukan masuk yang kemudian dikeluarkan dengan mengggunakan titik terdalam sebagai landasan, sehingga saluran luka sempit pada titik terdalam dan terlebar pada bagian superfisial. Sehingga luka luar lebih besar dibandingkan lebar senjata yang digunakan.
5. Tusukan diputar saat masuk, keluar, maupun keduanya. Sudut luka berbentuk ireguler dan besar.
Jika senjata digunakan dengan kekuatan tambahan, dapat ditemukan kontusio minimal pada luka tusuk tersebut. Hal ini dapat diindikasikan adanya pukulan
Panjang saluran luka dapat mengindikasikan panjang minimun dari senjata yang digunakan. Harus diingat bahwa posisi tubuh korban saat ditusuk berbeda dengan pada saat autopsi. Posisi membungkuk, berputar, dan mengangkat tangan dapat disebabkan oleh senjata yang lebih pendek dibandingkan apa yang didapatkan pada saat autopsi. Manipulasi tubuh untuk memperlihatkan posisi saat ditusuk sulit atau bahkan tidak mungkin mengingat berat dan adanya kaku mayat. Poin lain yang perlu dipertimbangkan adalah adanya kompresi dari beberapa anggota tubuh pada saat penusukan. Pemeriksa yang sudah berpengalaman biasanya ragu-ragu untuk menentukan jenis senjata yang digunakan.
Pisau yang ditusukkan pada dinding dada dengan kekuatan tertentu akan mengenai tulang rawan dada, tulang iga, dan bahkan sternum. Karakteristik senjata paling baik dilihat melalui trauma pada tulang. Biasanya senjata yang tidak begitu kuat dapat rusak atau patah pada ujungnya yang akan tertancap pada tulang. Sehingga dapat dicocokkan, ujung pisau yang tertancap pada tulang dengan pasangannya.
Luka Bacok
Luka bacok dihasilkan dari gerakkan merobek atau membacok dengan menggunakan instrument yang  sedikit tajam dan relatif berat seperti kapak, kapak kecil, atau parang. Terkadang bayonet dan pisau besar juga digunakan untuk tujuan ini. Luka alami yang disebabkan oleh senjata jenis tersebut bervariasi tergantung pada ketajaman dan berat senjata. Makin tajam instrument makin tajam pula tepi luka. Sebagaimana luka lecet yang dibuat oleh instrument tajam yang lebih kecil, penipisan terjadi pada tempat dimana bacokan dibuat. Abrasi lanjutan dapat ditemukan pada jenis luka tersebut pada sisi diseberang tempat penipisan, yang disebabkan oleh hapusan bilah yang pipih. Pada instrumen pembacok yang diarahkan pada kepala, sudut besatan bilah terkadang dapat dinilai dari bentuk patahan tulang tengkorak. Sisi pipih bilah bisa meninggalkan cekungan pada salah satu sisi patahan, sementara sisi yang lain dapat tajam atau menipis.
Berat senjata penting untuk menilai kemampuannya memotong hingga tulang di bawah luka yang dibuatnya. Ketebalan tulang tengkorak dapat dikalahkan dengan menggunakan instrumen yang lebih berat. Pernah dilaporkan bahwa parang dapat membuat seluruh gigi lepas. Kerusakan tulang yang hebat tidak pernah disebabkan oleh pisau biasa. Juga perlu dicatat kemungkinan diakukannya pemelintiran setelah terjadi bacokan dan dalam upaya melepaskan senjata. Gerakan tersebut, jika dilakukan dengan tekanan, dapat mengakibatkan pergeseran tulang, umumnya didekat kaki-kaki luka bacok.
Efek utama dari luka tusuk, luka lecet, dan luka bacok adalah perdarahan. Disfungsi karena kerusakan saraf di ekstremitas juga dapat dicatat. Luka tusuk yang dalam dapat mengenai organ-organ dalam. intrumen teramat kecil yang menyebabkan luka tipe tusuk dapat menyebabkan luka kecil yang dengan keelastisan dari jaringan normal dapat kembali tertutup setelah intrumen dicabut, dan tidak ada darah yang keluar setelahnya. Pemecah es, awls, dan hatpins diakui dapat menyebabkan luka jenis tersebut. Sebagimana telah didiskusikan pada pembahasan luka tembak, bentuk alami terpotongnya arteri besar dan jantung oleh karena luka tusuk menyebabkan perdarahan lebih lambat dibandingkan kerusakan yang sama yang disebabkan luka tembak.
Pada keadaan tertentu, senjata yang tidak umum digunakan, menyebabkan luka tusuk, lecet, atau bacok. Anak panah berburu yang setajam silet yang umumnya dipakai jarak jauh, pernah juga dipakai untuk menusuk korban dengan tangan. Potongan tajam gelas, botol pecah, dan objek gelas lain yang tajam terkdang dipakai sebagai senjata untuk merobek atau menusuk. Pisau bedah, jarum jahit, dan tonggak tajam dapat digunakan sebagai senjata yang mematikan.
Beberapa catatan sebaiknya dibuat mengenai kerusakan yang tertutupi oleh instrumen tajam yang dipakai sebagai sejata untuk menusuk. Jika pisau bermata dua atau sejata sejenis digunakan, tepi pemotongan yang tajam menyebabkan sudut tajam atau robekan dengan kaki-kaki bersudut akut. Senjata bermata satu seringkali menyebabkan salah satu kaki luka bersudut tajam dan yang satunya tumpul. Pemeriksaan pakaian korban penusukan dapat memeberi perkiraan ciri-ciri senjata yang digunakan. Pemeriksaan tersebut menjadi sangat penting nilainya apabila luka tusuk diperlebar oleh dokter bedah untuk tujuan menilai luka secara lebih akurat untuk kepentingan medikolegal. Pemeriksaan ini juga penting untuk menilai apakah senjata benar-benar menembus pakaian hingga kelapisan dibawahnya. Beberapa individu yang menggunakan senjata tajam untuk bunuh diri dapat membuka sedikit bagian pakaiannya sehingga tidak akan ditemukan robekan tembus pada pakaian. Tidak adanya kerusakan pada pakaian yang dipakai oleh korban, padahal luka terdapat pada area yang tertutupi pakaian, dapat menunjukkan bahwa kematian disebabkan masalah internal.
Terdapat 2 tipe luka oleh karena instrumen yang tajam dikenal dengan baik dan memiliki ciri yang dapat dikenali dari aksi korban. ”tanda percobaan” adalah insisi dangkal, luka tusuk atau luka bacok yang dibuat sebelum luka yang fatal oleh individu yang berencana bunuh diri. Luka percobaan tersebut seringkali terletak paralel dan terletak dekat dengan luka dalam di daerah pergelangan tangan atau leher. Bentuk lainnya antara lain luka tusuk dangkal didekat luka tusuk dalam dan mematikan. Meskipun jarang sekali dilaporkan, luka bacok superfisial di kepala dapat terjadi sebelum ayunan yang keras dan menyebabkan kehilangan kesadaran dan/atau kematian.
Bentuk lain dari luka oleh karena instrumen yang tajam adalah ”luka perlawanan”. Luka jenis ini dapat ditemukan di jari-jari, tangan, dan lengan bawah (jarang ditempat lain) dari korban sebagaimana ia berusaha melindungi dirinya dari ayunan senjata, contohnya dengan menggenggam bilah dari instrumen tajam.
Jelas bahwa ”tanda percobaan” merupakan ciri khas bunuh diri dan ”tanda perlawanan” menunjukkan pembunuhan. Bagaimanapun juga, boleh saja berpikir bahwa luka lecet dapat ditemukan, umumnya pada leher atau sekitar leher, disebabkan oleh penyerang pada kasus pembunuhan. Luka lecet multipel di lengan bawah dapat pula, meskipun jarang, menjadi tanda perlawanan, namun tampil seperti luka percobaan. Interpretasi dari tanda perlawanan dan percobaan yang tampak sebaiknya disimpulkan setelah pemeriksaan yang lengkap dan seksama.
Luka Tembak
Harus selalu ada di dalam benak kita bahwa saat tembakan terjadi, dilepaskan 3 substansi berbeda dari laras senjata. Yaitu anak peluru, bubuk mesiu yang tidak terbakar, dan gas. Gas tersebut dihasilkan dari pembakaran bubuk mesiu yang memberikan tekanan pada anak peluru untuk terlontar keluar dari senjata. Proses tersebut akan menghasilkan jelaga. Ada bagian yang berbentuk keras seperti isi pensil untuk menyelimuti bubuk mesiu. Sebenarnya tidak semua bubuk mesiu akan terbakar; sejumlah kecil tetap tidak terbakar, dan sebagian besar lainnya diledakkan keluar dari lubang senjta sebagai bubuk, yang masing-masing memiliki kecepatan inisial sama dengan anak peluru atau misil lain. Massa materi yang terlontar dari laras pada saat penembakan dapat menjadi patokan jarak yang ditempuhnya. Gas, yang bersamanya juga terkandung jelaga, sangat jelas dan dapat melalui jarak yang sangat pendek yang diukur dengan satuan inch. Bubuk mesiu yang tidak terbakar, dengan massa yang lebih besar, dapat terlontar lebih jauh. Tergantung kepada tipe bubuknya, kemampuan bubuk mesiu untuk terlontar bervariasi antara 2-6 kaki (0,6-2 m). Makin berat anak peluru tentu saja membuatnya terlontar lebih jauh menuju target yang ditentukan atau tidak ditentukan.
Jarak Tembakan
Efek gas, bubuk mesiu, dan anak peluru terhadap target dapat digunakan dalam keilmuan forensik untuk memperkirakan jarak target dari tembakan dilepaskan. Perkiraan tersebut memiliki kepentingan sebagai berikut: untuk membuktikan atau menyangkal tuntutan; untuk menyatakan atau menyingkirkan kemungkinan bunuh diri; membantu menilai ciri alami luka akibat kecelakaan. Meski kisaran jarak tembak tidak dapat dinilai dengan ketajaman absolut, luka tembak dapat diklasifikasikan sebagai luka tembak jarak dekat, sedang, dan jauh. Seperti yang tertera pada tabel 1. Perlu dicatat bahwa ciri-ciri yang terdapat pada tabel tersebut disebabkan oleh senapan dan pistol, termasuk juga revolver dan pistol otomatis.
Tabel 1
Senapan Pistol
1.Kontak
a. Keras, dangkal disekitar tulang Penampakkan ”eksplosif”
Jelaga pada tepi luka dan dalam di dalam jaringan, di atas tulang
Gambaran moncong senjata Penampakkan ”eksplosif”
Jelaga pada tepi luka dan dalam di dalam jaringan, di atas tulang
Gambaran moncong senjata
b. keras, tidak dangkal disekitar tulang Defek sirkular
Jelaga pada jaringan yang lebih dalam Defek sirkular
Jelaga pada jaringan yang lebih dalam
c. longgar Korona (ditambah dengan B) Sama dengan B
2. Jarak dekat Jelaga (gas mesiu) Jelaga (gas mesiu)
Terbakar (gas mesiu)
Bubk mesiu bebas Bubuk mesiu bebas
Tanda gumpalan cabang
3. Jarak sedang Kelim tato (bubuk mesiu) Kelim tato (bubuk mesiu)
Tepi luka yang tidak rata
Stippling (isi plastik pada selongsong)
4. Jarak jauh Luka saja Luka tidak rata dengan defek satelit
Makin jauh jarak tembak: satelit makin banyak, terlihat penggumpalan
Luka tembak tempel
Banyak orang yang tidak mengetahui bahwa pembakaran bubuk mesiu saat tembakan terjadi menghasilkan sejumlah besar gas. Gas inilah yang mendorong anak peluru keluar dari selongsongnya, dan selanjutnya menimbulkan suara yang keras. Gas tersebut sangat panas dan kemungkinan tampak seperti kilatan cahaya, yang jelas pada malam hari atau ruangan yang gelap.
Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi bentuk luka yaitu hasil kombinasi antara gas dan anak peluru: (1) sejumlah gas yang diproduksi oleh pembakaran bubuk mesiu; (2) efektivitas pelindung antara kulit dan anak peluru; dan (3) ada tidaknya tulang dibawah jaringan yang terkena tembakan. Faktor pertama, jumlah gas yang diproduksi oleh bubuk mesiu yang terbakar memilik hubungan dengan kecepatan melontar senjata. Secara jelas dapat dikatakan dengan meningkatkan kecepatan melontar berarti juga meningkatkan kecepatan anak peluru. Meningkatnya jumlah gas yang diproduksi merupakan suatu prinsip untuk meningkatkan dorongan terhadap anak peluru. Faktor kedua yang berpengaruh terhadap efektifitas pelindung antara kulit dan anak peluru. Makin efisien pelindung tersebut makin banyak gas yang gagal ditiupkan di sekitar moncong senjata sehingga makin banyak gas yang dapat ditemukan di jaringan tubuh. Faktor terakhir adalah keberadaan lapisan tulang dalam jarak yang dekat di bawah kulit yang dapat dibuktikan menjadi pembatas terhadap penetrasi yang masif dan ekspansi gas menuju jaringan yang lebih dalam.
Luka Tembak Jarak Dekat
Tanda luka tembak dengan jarak senjata ke kulit hanya beberapa inch adalah adanya kelim jelaga disekitar tempat masuk anak peluru. Luasnya kelim jelaga tergantung kepada jumlah gas yang dihasilkan, luasnya bubuk mesiu yang terbakar, jumlah grafit yang dipakai untuk menyelimuti bubuk mesiu. Pada luka tembak jarak dekat, bubuk mesiu bebas dapat ditemukan didalam atau di sekitar tepi luka dan disepanjang saluran luka. ”kelim tato” yang biasa tampak pada luka jarak sedang, tidak tampak pada luka jarak pendek kemungkina karena efek penapisan oleh jelaga.
Pada luka tembak jarak dekat, sejumlah gas yang dilepaskan membakar kulit secara langsung. Area disekitarnya yang ikut terbakar dapat terlihat. Terbakarnya rambut pada area tersebut dapat saja terjadi, namun jarang diperhatikan karena sifat rambut terbakar yang rapuh sehingga patah dan mudah diterbangkan sehingga tidak ditemukan kembali saat dilakukan pemeriksaan. Rambut terbakar dapat ditemukan pada luka yang disebabkan senjata apapun.
Luka Tembak Jarak Sedang
Tanda utama adalah adanya kelim tato yang disebabkan oleh bubuk mesiu yang tidak terbakar yang terbang kearah kulit korban. Disekitar zona tato terdapat zona kecil berwarna magenta. Adanya tumbukan berkecepatan tinggi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah kecil dan menghasilkan  perdarahan kecil.
Bentuk tato memberikan petunjuk mengenai tipe bubuk mesiu yang digunakan. Serpihan mesiu menyebabkan tato dengan bentuk yang beraneka ragam, tergantung bagaimana masing-masing mesiu  membentur kulit dengan bentuk pipih pada tepinya. Gumpalan mesiu, berbentuk bulat atau bulat telur, menyebabkan tato bentuk bintik-bintik atau titik-titik. Karena bentuk gumpalan lebih kecil dari bentuk serpihan sehingga daerah berkelim tato pada gumpalan lebih halus.
Luas area tato menunjukkan jarak tembak. Makin besar jarak tersebut, makin besar area, namun semakin halus. Metode pengukuran luas yang umum dipakai adalah dengan mengukur 2 koordinat, potongan longitudinal dan transversal. Untuk kemudian dibuat luka percobaan, dengan menggunakan  senjata yang sama, amunisis yang sama, kondisi lingkungan yang sama dengan hasil luka terlihat yang sama persis dengan korban, dapat di ukur jarak tembak.
Jarak tempuh bubuk mesiu beraneka ragam. Bubuk mesiu yang terbungkus dapat dibawa hingga 8-12 kaki. Namun kelim tato tidak akan ditemukan lagi bila jarak tembak melebihi 4-5 kaki.
Luka tembak jarak jauh
Tidak ada bubuk mesiu maupun gas yang bisa terbawa hingga jarak jauh. Hanya anak peluru yang dapat terlontar memebihi beberapa kaki. Sehingga luka yang ada disebabkan oleh anak peluru saja. Terdapat beberapa karakteristik luka yang dapat dinilai. Umumnya luka berbentuk sirkular atau mendekati sirkular.Tepi luka compang-camping. Jika anak peluru berjalan dengan gaya non-perpendikular maka tepi compang-camping tersebut akan melebar pada salah satu sisi. Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan arah anak peluru.
Pada luka tembak masuk jarak jauh memberi arti yang besar terhadap pengusutan perkara. Hal ini karena luka jenis ini menyingkirkan kemungkinan penembakan terhadap diri sendiri, baik sengaja tau tidak. Terdapat 4 pengecualian, yaitu (1) Senjata telah di set sedemikian rupa sehingga dapat di tembakkan sendiri oleh korban dari jarak jauh; (2) kesalahan hasil pemeriksaan karena bentuk luka tembak tempel yang mirip luka tembak jarak jauh; (3) Kesulitan interpretasi karena adanya pakaian yang menghalangi jelaga atau bubuk mesiu mencapai kulit; dan (4) Jelaga atau bubuk mesiu telah tersingkir. Hal tersebut terjadi bila tidak ada pengetahuan pemeriksa dan dapat berakibat serius terhadap penyelidikan.
Luka Tembak Keluar
Peluru yang berhasil melewati tubuh akan keluar dan menghasilkan luka tembak keluar. Biasanya karakteristik luka berbeda dengan luka tembak masuk. Bentuknya tidak sirkular melainkan bervariasi dari seperti celah (slitlike), seperti bintang, iregular, atau berjarak (gaping). Bentuk luka tembak keluar tidak dapat di prediksi. Latar belakang variasi bentuknya adalah sebagai berikut:
1. Anak peluru terpental dari dalam tubuh sehingga keluar dari tempatnya masuk
2. Anak peluru mengalami perubahan bentuk selama melewati tubuh sehingga memberi bentuk iregular saat keluar.
3. Anak peluru hancur di dalam tubuh, sehingga keluar tidak dalam 1 kesatuan melainkan dalam potongan-potongan kecil. Jika memiliki jaket, maka jaket dapat terpisah komplit atau sebagian.
4. Anak peluru yang mengenai tulang atau tulang rawan, dapat membuat fragmen tulang tersebut ikut terlontar keluar bersama anak peluru.
5. Anak peluru yang melewati kulit yang tidak ditopang oleh struktur anatomi apapun akan membuat kulit tersebut koyak, hal ini sedikit berhubungan dengan bentuk anak peluru yang menyebabkannya.
Tidak adanya penahan pada kulit akan menyebabkan anak peluru mengoyak kulit pada saat keluar. Dalam beberapa keadaan dimana kulit memiliki penahan, maka bentuk luka tembak sirkular atau mendekati mendekati sirkular yang disekelilingnya dibatasi oleh abrasi. Teka-teki ilmiah forensik klasik membedakan luka tembak masuk dan luka tembak keluar. Luka tembak masuk dan luka tembak keluar sulit dibedakan apabila pada luka tembak luar terdapat penahan kulit, pada luka tembak masuk terdapat pakaian yang menghalangi residu lain, senjata yang digunakan kaliber kecil (kaliber 22), dan tulang tidak langsung berada di bawah kulit.
Luka tembak luar bentuk shored umumnya ditemukan pada pemakaian pakaian, pada posisi bagian tubuh tertentu seperti pakaian yang sangat ketat, bagian ikat pinggang dari celana panjang, celana pendek, atau celana dalam, bra, kerah baju, dan dasi. Luka jenis sama juga terjadi karena bagian tangan menahan tempat keluar anak peluru kemudian posisi pasien tiduran, duduk, atau menempel pada objek yang keras.
Tidak semua anak peluru dapat keluar dari tubuh. Terdapat banyak tulang dan jaringan padat yang dapat menghalangi lewatnya peluru. Peluru jarang dapat dihentikan oleh tulang, terutama tulang-tulang yang tipis seperti skapula dan ileum atau bagian tipis dari tenglorak. Kebanyakan anak peluru masuk ke dalam tubuh dan menghabiskan energi kinetiknya di kulit. Kulit adalah penghalang kedua yang paling menghalangi lewatnya anak peluru.
Anak peluru yang mengenai lokasi yang tidak biasa dapat menyebabkan luka dan kematian tetapi luka tembak masuk akan sangat sulit untuk ditemukan. Contohnya telinga, cuping hidung, mulut, ketiak, vagina, dan rektum.
KECEPATAN ANAK PELURU
Jarak tembakan harus ditentukan atau dipikirkan untuk menilai kecepatan tolakan anak peluru. Perkiraan kecepatan bisa dinilai dengan melakukan pemeriksaan cartridge manufacturer’s range tables atau untuk lebih tepat dapat menggunakan kronografi, menguji ulang tembakan dengan menggunakan tipe senjata yang sama dan tipe amunisi yang sama yang dicoba-coba pada beberapa jarak tertentu.
Kecepatan pistol untuk melontar umumnya antara 350 dan 1500 kaki per detik. Terdapat sebuah rumus untuk menilai energi kinetik yaitu KE = mv2/2g
Keterangan : KE adalah energi kinetik dalam satuan foot-pounds
m adalah massa anak peluru (pounds)
v adalah kecepatan (feet)
g adalah gaya gravitasi
Area yang tidak terluka pada kasus luka tembak
Ada 4 situasi yang akan diterangkan pada bab ini, yaitu mengenai peluru yang berhubungan dengan efek yang terlihat pada tubuh yang berupa kelainan abnormal. Situasi tersebut adalah:
1. Percikan darah (dan kadang-kadang jaringan) pada kedua tangan. Kondisi ini sering ditemukan pada korban bunuh diri. Percikan darah atau jaringan pada tangan terjadi ketika kontak antara senjata api dengan tangan yang memegang pelatuk senjata. Selian itu juga sering ditemukan percikan jaringan otak. Pada korban penyerangan atau pembunuhan, pada tangan penyerang sering ditemukan percikan darah/jaringan korban, namun seringkali penyerang sudah membersihkan percikan tersebut.
2. Darah mungkin bisa turun ke bagian kaki atau bagian bawah yang lain dari korban.
3. Residu (sisa) dari senjata api yang terdapat pada daerah luka bisa menggambarkan posisi dan waktu korban itu ditembak. Percikan api atau bubuk mesiu yang keluar dari lubang yang berbentuk silinder senjata bisa menggambarkan posisi tembakan dan jenis senjata yang digunakan. Percikan bubuk mesiu ini membentuk sebuah tatto pada luka korban.
4. Terdapat tanda pada telapak tangan yang memegang senjata api berupa jelaga dan bubuk mesiu korban bunuh diri.
Perubahan Luka pada Luka Tembak
Ada beberapa kondisi yang bisa merubah gambaran luka tembak dengan cepat. Perubahan itu dapat disebabkan antara lain oleh:
1. luka terbuka yang sudah mengering
2. proses pembusukan tubuh
3. penyembuhan dari luka itu sendiri
4. intervensi tenaga medis
5. intervensi bedah
6. intervensi oleh personel atau orang yang tidak profesional
7. pencucian atau pembersihan luka setelah korban mati
Residu senjata api
Istilah residu sebenarnya adalah sesuatu yang tersisa. Pada bagian ini akan dibahas mengenai beberapa hal yang memiliki arti yang sama dengan residu. Tiap inevestigator akan cenderung tertarik melihat residu senjata api dengan sudut pandang yang berbeda. Para petugas hukum akan mengartikan residu dengan menghubungkan yang tersisa di tangan penyerang dengan senjata api penyerang. Sedangkan ahli senjata lebih tertarik dengan residu yang dihubungkan dengan senjata api yang digunakan. Ahli patologi forensik menguraikan antara residu yang terdapat pada tubuh korban dan luka tembak yang ditemukan.
Pokok persoalan mengenai residu senjata api ini cukup kompleks, meliputi identifikasi, pengumpulan,pemeliharaan, dokumentasi, analisis, dan interpretasi yang baik. Namun hal ini agak kurang dilakukan.
Secara tradisional, residu berarti bubuk sisa tembakan (bubuk mesiu) yang terjadi akibat proses pembakaran. Ada beberapa macam bentuk residu yang terdapat setelah proses penembakan menurut investigasi medikolegal.
Residu juga terdapat pada peluru tetapi jarang sekali berguna untuk kepentingan forensik. Tetapi bubuk mesiu yang terdapat pada peluru seringkali digunakan oleh pemeriksa medikolegal untuk menemukan jenis senjata api yang digunakan.
Residu tersebut kadang terlihat dengan mata telanjang dan digambarkan sebagai sebuah kelim tatto pada bagian tubuh korban. Sebagai tambahan, bubuk mesiu peluru dan fragmennya bisa terlihat pada bagian atas kulit atau bagian bawah kulit dan bisa juga tidak teridentifikasi. Studi mengenai residu ini adalah baru awal, tidak pernah ada pertanyaan yang menganalisa detail mengenai keberadaan residu pada luka tembak dalam atau luka tembak luar pada bagian tubuh korban yang telah mengalami pembusukan.
Residu Senjata Api pada Tangan Tersangka
Petugas hukum biasanya menginginkan untuk mengecek tangan tersangka pada kasus pembunuhan dengan luka tembak senjata api. Sedangkan ahli patologi forensik mengecek tangan korban bunuh diri untuk mendapatkan bukti tambahan bahwa memang kematian disebabkan oleh korban sendiri. Ahli patologi forensik juga mendemonstrasikan hubungan residu yang tertinggal dengan korban melalui bahasa tubuh (gesture) korban yang bertahan atau terdapat perlawanan korban terhadap kontrol senjata api.
Residu Senjata Api
Residu Asal Terlihat dengan mata telanjang
partikel bubuk bubuk ya
jelaga bubuk ya
grafit bubuk ya, sebagai jelaga
karbonmonoksida bubuk ya, sebagai karboksihemoglobin
ya, sebagai karboksimioglobin
fragmen/kepingan peluru ya
minyak pelumas peluru ya
timah,antimoni,perak peluru tidak
timah,barium,antimoni primer tidak
tembaga,besi selongsong peluru tidak
Residu pada tangan mungkin bisa terlihat, pada kasus ini keberadaan residu harus dideskripsikan dan diobservasi, dan mungkin harus difoto dan didokumentasikan. Pada kebanyakan kasus, residu tidak dapat terlihat dengan mata telanjang. Ada teknik-teknik tertentu untuk melihat adanya residu. Teknik pertama yang diperkenalkan sekitar tahun 1930an adalah teknik parafin. Teknik ini mendemonstrasikan nitrat dengan menggunakan parafin untuk mengumpulkan partikel. Nitrat mampu mengoksidasi substansi dari bubuk mesiu dengan jumlah yang besar. Adanya partikel tersebut akan menyebabkan efek warna setelah diberikan parafin. Tetapi teknik nitrat dengan menggunakan parafin ini hanya bagus pada teori. Teknik ini tidak sensitif dan susah untuk dilakukan (tidak praktis).
Dengan alasan yang tidak jelas, beberapa petugas hukum masih melakukan tes parafin ini, dan laboratorium kriminal di AS juga masih menggunakan prosedur ini.
Pada tahun 1960an, dikembangkan teknik aktivasi neutron yang lebih digunakan dan akurat. Bahan yang diambil dari tangan dengan menggunakan parafin atau larutan asam. Kemudian dilihat dengan sinar radiasi emisi neutron. Radioaktif sekunder akan memisahkan partikel-partikel residu dengan teliti dan akurat. Teknik ini sangat sensitif dengan membutuhkan sedikit residu. Meskipun demikian hanya beberapa laboratorium di AS dapat mengerjakannya karena biaya yang mahal.
Absorbsi percikan nyala api dari senjata api yang berupa partikel atom merupakan salah satu cara untuk mendeteksi residu primer. Teknik ini dilakukan menggunakan temperatur yang sangat tinggi untuk menguapkan partikel metalik dari primer residu kemudian dinilai dengan spektrofotometri. Teknik ini sangat cepat, sensitif, dan ekonomis. Teknik yang lain adalah skanning dengan mikroskop elektron sebagai alat sentral analisis residu primer yang dikembangkan oleh aerospace corporation.
Semua prosedur yang telah diterangkan diatas akan berguna apabila pada tangan korban atau suspek dijaga dan dilindungi dengan cepat supaya residu tidak hilang atau terkontaminasi. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan kertas, bukan plastik untuk menutupi bagian tangan sebelum mendapat manipulasi atau perubahan posisi. Pada suspek hidup, tidak dibenarkan bagi mereka untuk mencuci tangan, memasukkan tangan ke dalam saku, atau menyentuh apapun.
Residu senjata api pada korban yang dihubungkan dengan pintu masuk luka
Residu yang terlihat, seperti yang telah diterangkan diatas, dapat berupa jelaga, minyak pelumas peluru, kelim tatto, bubuk mesiu, atau terkadang berupa jelaga yang berasal dari celah silinder dari pistol. Residu yang tidak terlihat bisa berupa material primer dan partikel metal yang telah menguap yang berasal dari peluru, jaket, atau selongsong peluru.
Pada umumnya, residu yang dapat dilihat akan berdekatan dengan masuknya luka (pintu masuk luka). Tepi luka yang rusak bisa tertutup oleh residu dari senjata api apabila tembakan yang dilakukan pada jarak dekat. Pada luka akibat tembakan, residu tidak terlihat secara eksternal, kecuali tepi luka yang rusak itu berwarna kehitaman, hal itu terjadi karena deposit residu peluru pada jaringan. Deteksi yang terbaik adalah dengan mengambil bagian sekeliling kulit yang rusak akibat tembakan, dan termasuk lapisan subkutan dan mungkin jaringan yang lebih dalam lagi untuk menemukan bubuk mesiu. Hal ini sangat baik dilakukan dengan mikroskop dan dilakukan pada ruang otopsi. Prosedur ini juga dilakukan untuk membedakan luka tembak dalam dan luka tembak luar pada tubuh yang sudah membusuk atau berubah karena dibakar, temabakan yang dilakukan dalam jarak dekat atau jarak jauh, dan luka oleh kaliber 22.
Residu yang terlihat kadang bisa terlihat dengan pemeriksaan histologis. Teknik ini digunakan untuk mencari adanya bubuk mesiu. Kemudian setelah itu bisa dilakukan pemeriksaan nitrat atau nitrit. Menurut pengalaman penulis, sejauh ini teknik ini lebih bermanfaat dibandingkan pemeriksaan dengan mikroskop saja pada jaringan yang masih baru (fresh).
Pada saat pencarian residu yang tidak terlihat disekeliling tepi luka tembak, pengambilan jaringan dan pemeriksaan dengan energi dispersi dari alat-alat X-ray akan sangat menguntungkan. Dengan teknik ini komponen primer dan jumlah yang sangat kecil dari deposit metal yang tersisa dari peluru, jaket maupun selongsongnya bisa dideteksi semikuantitatif.
Residu dari senjata api bisa berupa gas karbonmonoksida. Gas ini diproduksi akibat proses pembakaran bubuk mesiu. Ketika senjata kontak dengan kulit, karbonmonoksida akan dideposit dibawah lapisan kulit dan terdifusi pada jaringan. Gas karbonmonoksida akan bergabung dengan hemoglobin darah dan mioglobin otot dan membentuk karboksihemoglobin dan karboksimioglobin.
Deskripsi luka senjata api
Kepentingan medikolegal deskripsi yang adekuat dari luka senjata api bergantung pada besarnya potensi seorang korban meninggal. Jika korban masih hidup, deskripsi singkat dan tidak terlalu detail. Dokter mempunyai tenggung jawab yang utama untuk memberikan penatalaksanaan gawat darurat. Membersihkan luka, membuka dan mengeksplorasi, debridement dan menutupnya, kemudian membalut adalah bagian penting dari merawat pasien bagi dokter. Penggambaran luka secara detail akan dilakukan nanti., setelah semua kondisi gawat darurat dapat disingkirkan. Oleh karena singkatnya waktu yang dimiliki untuk mempelajari medikolegal, seringkali dokter merasa tidak mempunyai kewajiban untuk mendeskripskan luka secara detail. Deskripsi luka yang minimal untuk pasien hidup terdiri dari:
1. lokasi luka
2. ukuran dan bentuk defek
3. lingkaran abrasi
4. lipatan kulit yang utuh dan robek
5. bubuk hitam sisa tembakan, jika ada
6. tattoo, jika ada
7. bagian yang ditembus/dilewati
8. titik hitam atau tanda penyembuhan akibat bedah pengeluaran benda asing dan susunannya
9. penatalaksanaan luka, termasuk debridement, penjahitan, pengguntingan rambut, pembalutan, drainase, dan operasi perluasan luka
Pada korban mati, tidak ada tuntutan dalam mengatasi gawat darurat. Meskipun demikian, tubuhnya dapat saja sudah mengalami perubahan akibat penanganan gawat darurat atau pihak lain. Sebagai tambahan, tubuh bisa berubah akibat perlakuan orang-orang yang mempersiapkan tubuhnya untuk dikirimkan kepada pihak yang bertanggung jawab untuk menerimanya. Di lain pihak tubuh mungkin sudah dibersihkan, bahkan sudah disiapkan untuk penguburan, luka sudah ditutup dengan lilin atau material lain. Penting untuk mengetahui siapa dan apa yang telah dikerjakannya terhadap tubuh korban, untuk mengetahui gambaran luka sebenarnya.
Hal-hal yang penting dalam deskripsi luka tembak :
1. Lokasi
a. jarak dari puncak kepala atau telapak kaki serta ke kanan dan kiri garis pertengahan tubuh
b. lokasi secara umum terhadap bagian tubuh
2. Deskripsi luka luar
a. ukuran dan bentuk
b. lingkaran abrasi, tebal dan pusatnya
c. luka bakar
d. lipatan kulit, utuh atau tidak
e. tekanan ujung senjata
3. Residu tembakan yang terlihat
a. grains powder
a. deposit bubuk hitam, termasuk korona
b. tattoo
c. metal stippling
4. Perubahan
a. oleh tenaga medis
b. oleh bagian pemakaman
5. Track
a. penetrasi organ
b. arah
- depan ke belakang (belakang ke depan)
- kanan ke kiri(kiri ke kanan)
- atas ke bawah
c. kerusakan sekunder
- perdarahan
- daerah sekitar luka
d. kerusakan organ individu
6. Penyembuhan luka tembakan
a. titik penyembuhan
b. tipe misil
c. tanda identifikasi
d. susunan
7. Luka keluar
a. lokasi
b. karakteristik
8. Penyembuhan fragmen luka tembak
9. Pengambilan jaringan untuk menguji residu
Deskripsi medikolegal harus lebih detail dan harus mencakup juga perubahan yang terjadi oleh orang lain maupun karena reaksi penyembuhan.
Fasilitas Otopsi untuk korban luka tembak
Fasilitas merupaka bagian penting dalam melakukan pemeriksaan yang adekuat bagi korban luka tembak. Fasilitas yang perlu dievaluasi adalah tempat, tenaga kerja dan peralatan.
Tempat
Tempat untuk otopsi bagi otopsi medikolegal dapat disediakan oleh bagian peradilan, atau oleh ahli patologi. Lokasi yang paling ideal adalah fasilitas otopsi patologi forensik. Ini memungkinkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan cepat dan tanpa mengeluarkan banyak tenaga. Masalah lain yang perlu dipikirkan adalah tempat penyimpanan tubuh yang baik untuk mencegah perubahan yang berkaitan dengan pembusukan. Penyimpanan yang baik adalah suhu dingin 2-6° C, dan aman dari ‘tangan-tangan jahil’. Juga diperlukan adanya cahaya yang cukup untuk pemeriksaan dan fotografi.
Tenaga kerja
Ahli patologi tidak mungkin bekerja seorang diri. Asisten yang dapat membantu otopsi agar mendapatkan hasil yang adekuat adalah orang-orang dari bagian patologi, residen patologi, teknolog medis, perawat dan orang dari petugas ruang patologi.
Peralatan
Pemeriksan X-Ray harus tersedia. Hal ini dapat melancarkan pemeriksaan otopsi.
Konsep-konsep yang salah dalam investigasi tembakan senjata
1. Luka tembak masuk selalu lebih kecil daripada luka tembak keluar
2. Ketika luka tembak masuk lebih tinggi dibanding luka tembak keluar, arah serangan dari bawah ke atas
3. Peluru selalu berjalan dalam garis lurus di dalam tubuh, mulai dari tempat masuk sampai keluar dari tubuh, atau bila tertinggal di dalam tubuh
4. Ketika peluru diketahui dari luka terbuka senjata api, berefek sangat panas sehingga membakar kulit
5. Peluru tembakan dari senjata yang beralur(spiral), mengalami perputaran dengan kecepatan yang sangat tinggi, menuntun jalannya pada dan melalui target. Gerakan berputar atau mengebor menghasilkan lingkaran abrasi pada luka tembak masuk
6. Peluru yang dihasilkan senjata atau revolver dengan setengah jaket atau peluru berlubang membuat ‘hamburger’ pada organ daerah dada dan abdomen
7. Beberapa individu meninggal karena komplikasi akibat perlakuan saat membersihkan luka
8. Individu yang dominan tangan kanan membunuh diri dengan memegang senjata dengan tangan kanan dengan luka terbuka pada kontak dengan atau dekat dengan pelipis kanan
9. Adalah mungkin untuk memperkirakan berapa lama korban hidup setelah cedera fatal dari pemeriksaan luka
10. Otopsi pada korban luka tembak merupakan prosedur yang sederhana. Yang penting adalah menemukan luka masuk dan luka keluar, lokasi peluru, dan jaringan serta organ yang terluka
________________________________________
© 2006 All Rights Reserved.

PENGELOLAAN CEDERA KEPALA DAN CEDERA TULANG BELAKANG DIDAERAH YANG JAUH DARI  SARANA BEDAH SARAF.

Syaiful Saanin, SMF BEDAH SARAF RS. DR. M. DJAMIL, Padang.
PENGELOLAAN CEDERA KEPALA DAN CEDERA TULANG BELAKANG DIDAERAH YANG JAUH DARI SARANA BEDAH SARAF.
EPIDEMIOLOGI.
Insidens
Neurotrauma bertanggung-jawab atas 70% kematian dijalan-raya serta 50% kematian karena trauma. KLL merupakan 50-60% dari semua trauma kepala. Cedera traumatik penyebab kematian ketiga dinegara dengan kendaraan bermotor. Insidens tertinggi dari pasien berusia dibawah 45 tahun ke RS adalah akibat trauma.
CEDERA SISTIM SARAF.
FAKTOR YANG MEMPERBURUK OUTCOME.
1. BERATNYA CEDERA PRIMER.
2. KOMPLIKASI INTRAKRANIAL.
3. HIPOKSEMIA.
4. HIPERKARBIA.
5. HIPOTENSI.
6. ANEMIA.
7. CEDERA GANDA.
8. USIA.
9. WAKTU PRA RUMAH SAKIT YANG LAMA.
10. MASUK KE R.S. YANG TIDAK MEMADAI.
11. RUJUKAN TERLAMBAT / TIDAK MEMADAI.
12. OPERASI DEFINITIF TERLAMBAT.
Penyebab kematian atau kecacadan yang dapat dicegah :
1. Keterlambatan resusitasi primer terhadap hipoksia, hipercarbia dan hipotensi.
2. Keterlambatan tindakan bedah-saraf definitif terutama pada hematoma intrakranial yang berkembeng cepat. Termasuk diagnostik, komunikasi dan tansportasi.
3. Infeksi kranioserebral.
Cedera ganda memiliki masalah kompleks dan menyebabkan kematian dua kali cedera tunggal. Kelainan neurologis menunjukkan disfungsi otak berat. Pasien diatas 50 tahun bisa mengalami komplikasi intrakranial akibat cedera minor.
MEKANISME CEDERA KEPALA.
1. AREA ANATOMIS yang mengalami cedera manentukan outcome & komplikasi.
2. JENIS CEDERA pada area tertentu menimbulkan pola cedera tertentu.
AKSELERASI-DESELERASI.
IMPAK LOKAL.
PENETRATING.
CRUSH INJURY.
3. PATOLOGI CEDERA KEPALA :
A. PRIMER :
SCALP.
FRAKTURA.
MENINGS.
OTAK.
B. SEKUNDER :
PERDARAHAN INTRAKRANIAL.
PEMBENGKAKAN OTAK.
HIPOKSIA OTAK.
KEBOCORAN CSS DAN PNEUMOSEFALUS.
KELAINAN METABOLIK.
INFEKSI.
EPILEPSI.
4. EVOLUSI CEDERA. Perburukan dengan bertambahnya waktu akan merubah pola tindakan.
PERAWATAN PRA RUMAH-SAKIT.
• FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTCOME harus dapat perhatian utama.
• POSISI PASIEN TIDAK SADAR. Posisi lateral dengan wajah agak diputar kearah bawah.
• INTUBASI TRAKHEAL. Bila GCS  8 atau gangguan jalan nafas.
• CEDERA SPINAL Cedera spinal leher dengan gangguan jalan nafas, mengatasi jalan nafas merupakan prioritas.
PENGELOLAAN CEDERA KEPALA DI R.S.
PENGELOLAAN DINI CEDERA BERAT.
1. SURVEY PRIMER :
A. Jalan nafas dan immobilisasi C-spine.
B. Pola dan adekuasi pernafasan.
C. Sirkulasi dan perdarahan.
D. Disabilitas : AVPU/GCS, pupil.
E. Exposure. Cegah hipotermia.
2. RESUSITASI :
A : PASTIKAN PATEN / INTUBASI.
B : VENTILASI ADEKUAT/MESIN/OKSIGEN.
C : PERFUSI / HENTIKAN PERDARAHAN.
NILAI REAKSI TERHADAP RESUSITASI :
T/N/WARNA KULIT/REFILL KAPILER/
OUTPUT URIN.
N.G.T/KATETER BILA TIDAK K.I.
Survei primer dan resusitasi dilakukan bersamaan. Hipotensi jarang karena cedera kepala, kecuali pada anak-anak dengan perdarahan scalp atau cedera kepala. Pikirkan penyebab lain atau cedera kord spinal. Kadang-kadang bisa oleh cedera medulla.
3. SURVEY SEKUNDER :
GCS DAN CEDERA EKSTERNAL KEPALA.
T/N/R/S.
KEPALA HINGGA KAKI.
NILAI ULANG GCS.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS.
PENILAIAN KHUSUS BEDAH SARAF.
A. RIWAYAT :
A. PENYEBAB CEDERA.
B. KEHILANGAN KESADARAN.
C. RESPONS PUPIL.
D. KARDIORESPIRATOR DAN RESPONS ATAS RESUSITASI.
E. RIWAYAT OBAT/ALKOHOL.
F. PENYAKIT, CEDERA SEBELUMNYA.
B. PEMERIKSAAN SARAF PUSAT :
A. GCS.
B. RESPONS PUPIL.
C. POLA MOTOR.
D. INSPEKSI WAJAH DAN SCALP.
E. PALPASI WAJAH, SCALP, # DEPRESSED.
F. PALPASI SPINE.
Riwayat dan pemeriksaan adalah untuk membandingkan bila terjadi perburukan.
INDIKASI CT SCANNING :
1. SETELAH RESUSITASI GCS 8.
2. PERBURUKAN GCS  2, HEMIPARESE, JULING.
3. NGANTUK ATAU BINGUNG (GCS 9-12 > 2 JAM).
4. NYERI KEPALA/MUNTAH MENETAP.
5. TANDA NEUROLOGIS FOKAL.
6. JELAS / DIDUGA FRAKTURA.
7. JELAS / DIDUGA CEDERA PENETRATING.
8. USIA > 50 TAHUN.
9. PENILAIAN POST OPERATIF.
CT dilakukan pada semua kasus kecuali cedera kepala ringan. Perburukan yang cepat mungkin memerlukan tindakan bedah segera tanpa membuang waktu untuk CT.
INDIKASI SKULL X-RAY :
1. KEHILANGAN KESADARAN, AMNESIA.
2. NYERI KEPALA MENETAP.
3. TANDA NEUROLOGIS FOKAL.
4. CEDERA SCALP.
5. DUGAAN CEDERA PENETRATING.
6. CSS / DARAH DARI HIDUNG / TELINGA.
7. DEFORMITAS TENGKORAK TAMPAK/TERABA.
8. KESULITAN PENILAIAN : ALKOHOL / OBAT / EPILEPSI / ANAK-ANAK.
9. GCS 15 TAPI BENTURAN LANGSUNG & KERAS.
Didaerah rural dimana CT tidak tersedia, foto polos mungkin memberi informasi. Buat posisi AP/lateral/Towne dan tangensial daerah impak.
Foto polos berguna untuk penilaian triase. Fraktur mempengaruhi tindakan :
1. Karena ada kemungkinan perdarahan, perlu CT.
2. Fraktur terbuka termasuk basis meninggikan risiko infeksi. Fraktur depres meningkatkan kemungkinan kejang, tu. Bila laserasi dura.
3. Fraktur menunjukkan sisi operasi pada pasien dengan perburukan cepat karena perdarahan ekstradural.
4. TINDAKAN DEFINITIF.
PERSIAPAN UNTUK TRANSFER PASIEN.
KRITERIA RAWAT :
1. BINGUNG / SETIAP PENURUNAN GCS.
2. TANDA ATAU GEJALA NEUROLOGIS.
3. KESULITAN PENILAIAN KLINIS.
4. KELAINAN MEDIS LAIN.
5. FRAKTURA TENGKORAK.
6. KELAINAN PADA CT.
7. TIDAK ADA PENGAMAT DILUAR R.S.
8. USIA LEBIH DARI 50 TAHUN.
9. ANAK-ANAK SESUAI PROTOKOL ANAK.
Pasien dengan kehilangan kesadaran kurang dari 5 menit atau yang tidak termasuk daftar, tidak dirawat bila telah melewati waktu 4 jam sejak kejadian. Namun diawasi dirumah dan kembali ke RS bila timbul kelainan sesuai daftar pada lembar instruksi pasien pulang.
INDIKASI TRANSFER PASIEN :
1. GCS  8 SETELAH RESUSITASI.
2. PENURUNAN GCS  2.
3. TANDA-TANDA NEUROLOGIS FOKAL.
4. CEDERA PENETRATING.
5. FRAKTURA DEPRESSED.
6. FRAKTURA TERBUKA.
7. NYERI KEPALA, MUNTAH, BINGUNG MENETAP  2 JAM SETELAH MASUK R.S.
8. FRAKTURA DENGAN DEFISIT NEUROLOGIS.
9. FRAKTURA BASIS.
10. DITEMUKAN KELAINAN PADA CT.
Tidak dilakukan transfer pada mati batang otak.
INFORMASI PASIEN UNTUK TRANSFER :
1. NAMA DAN USIA.
2. MEKANISME DAN WAKTU CEDERA.
3. STATUS KARDIORESPIRATORI.
4. GCS.
5. RESPONS PUPIL.
6. POLA MOTOR.
7. PERUBAHAN OBSERVASI DASAR.
8. CEDERA NON SEREBRAL.
9. HASIL PEMERIKSAAN.
10. KELAINAN, OBAT, ALERGI SEBELUMNYA.
11. DOKTER PENGIRIM, ALAMAT, TELEPON.
PENGELOLAAN KOMA DAN PENINGGIAN TI.K.
1. INTUBASI DAN VENTILASI BILA GCS  8. PaCO2 25-30 mmHg. Periksa BGA berkala. Hiperventilasi wfwktif sekitar 8 jam.
2. PERFUSI OTAK.
3. ELEKTROLIT DAN CAIRAN I.V.
4. MANNITOL 20%I.V. 1 gr/kgBB dalam 20 menit. Diberikan untuk perburukan yang mengancam jiwa agar didapat waktu untuk transfer.
5. CEGAH KEPALA RENDAH. Usahakan kepala ditnggikan sekitar 200. Cegah fleksi leher – gangguan jalan nafas.
6. KORTIKOSTEROID TIDAK BERGUNA.
7. TRANSFER KEUNIT BEDAH SARAF.
CEDERA KEPALA PEDIATRIK :
SEPERTI DEWASA, NAMUN HARUS DIINGAT :
1. RESPONS GCS LEBIH SERING BERFLUKTUASI.
2. SULIT MENENTUKAN APAKAH ADA PENURUNAN KESADARAN SAAT CEDERA.
3. PEMBENGKAKAN OTAK LEBIH CEPAT : C.T.
4. MUDAH KEJANG WALAU CEDERA MINOR : CT.
5. BILA KEJANG SEGERA PULIH, TAK PERLU TH/.
6. PELINDUNG OTAK TIPIS, MUDAH PENETRASI.
7. KARAKTER TENGKORAK : CEDERA LOKAL.
8. ELASTISITAS TENGKORAK : TANPA FRAKTUR.
9. NILAI KEHILANGAN DARAH.
10. MUDAH BENGKAK : CEGAH OVER INFUS.
11. FONTANEL SEBAGAI PENDUGA T.I.K.
12. SERING CEDERA NON TRAUMATIK :
RIWAYAT PALSU.
13. GELISAH SAAT SCANNING : A. U.
CEDERA SPINAL.
1. PENGELOLAAN PRA RUMAH-SAKIT.
A. SELALU PIKIRKAN CEDERA SPINAL.
B. PENILAIAN KLINIS CEPAT :
a. POLA RESPIRASI.
b. GERAKAN VOLUNTER DAN SENSASI.
c. TONUS DAN REFLEKS OTOT.
C. EKSTRIKASI DARI KENDARAAN :
a. PERTAHANKAN ALIGNMENT SPINAL.
b. CEGAH GERAKAN PENAMBAH NYERI.
c. GUNAKAN C-COLLAR ATAU PENGGANTI.
D. TRANSPORT KE R.S. PRIMER.
a. SADAR : TERLENTANG ; SESAK : HEAD UP.
b. TAK SADAR : POSISI LATERAL.
c. ALAT PENGANGKAT/TRANSPORT LAYAK.
d. OKSIGEN.
2. PENGELOLAAN R.S. PRIMER.
A. RESUSITASI. WASPADA SHOK SPINAL.
B. SELALU PIKIRKAN CEDERA SPINAL.
a. MEKANISME CEDERA DAN GEJALA.
b. PEMERIKSAAN KLINIS :
1. TANDA VITAL : BRADIKARDI, HIPOTENSI.
2. POLA RESPIRASI.
3. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS :
• RESPON MOTOR.
• LEVEL SENSORI, PERINEAL.
• TAK SADAR : LEVEL KERINGAT.
• RESPONS PLANTAR.
• PRIAPISM.
• BAHU HIPER ELEVASI PADA CEDERA C.
• TONUS SFINGTER. RETENSI URINER.
C. X-RAY.
D. PIKIRKAN CEDERA LAIN.
E. KELOLA SHOK SPINAL :
a. CAIRAN I.V : CEGAH OVERTRANSFUSE.
b. METIL PREDNISOLON.
c. N.G.T.
d. KATETER. MONITOR OUTPUT URIN.
e. CEGAH HIPOKSIA.
f. CEGAH ULSERASI KULIT.
g. PERTAHANKAN NORMOTERMIA.
3. INDIKASI X-RAY.
a. PASIEN TIDAK SADAR.
1. C-LATERAL HINGGA T 1/2.
2. CT BILA ADA YANG TAK TAMPAK / #.
3. FOTO DINAMIK BILA DIDUGA INSTABIL.
4. T/L AP/LAT. BILA ADA INDIKASI.
b. PASIEN SADAR DENGAN NYERI LEHER.
1. AP/LAT/OBL/ODONTOID HINGGA T 1/2.
2. DINAMIK.
3. ULANG 1 & 2 SETELAH BEBERAPA HARI.
4. CT SEGMEN YANG CEDERA.
c. PASIEN SADAR DENGAN NYERI PUNGGUNG.
1. AP/LAT. T/L DAN PELVIS.
2. CT DAERAH # BILA MENEKAN KEKANAL.
3. CT KONTRAS BILA DUGA CEDERA U-GIT.
4. KRITERIA RAWAT.
SEMUA PASIEN DENGAN ATAU POTENSIAL CEDERA SPINAL.
5. RUMAH SAKIT YANG SESUAI :
a. R.S LOKAL : CEDERA JARINGAN LUNAK DAN FRAKTUR SPINAL MAJOR.
b. UNIT BEDAH SARAF/ ORTOPEDI :
• CEDERA MEDULA SPINAL / RADIKS SARAF.
• KERAGUAN STABILITAS SPINAL.
KEADAAN KHUSUS :
PENCEGAHAN INFEKSI INTRAKRANIAL :
1. RINOREA ATAU OTOREA : KULTUR DAN
TES SENSITIVITAS.
2. AEROSEL INTRAKRANIAL : ANTIBIOTIK.
3. CEDERA PENETRATING : TRANSFER.
GELISAH DAN ANALGESIA :
1. PASTIKAN PENYEBABNYA.
2. HANYA PARASETAMOL / KODEIN FOSFAT.
STATUS EPILEPTIKUS :
1. RAWAT JALAN NAFAS / INTUBASI.
2. KONTROL SIRKULASI.
3. TES DARAH UNTUK GLUKOSA,
ELEKTROLIT,
KALSIUM DAN
GAS DARAH.
4. BERIKAN 50 ML. GLUKOSA 50% IV.
5. DIAZEPAM I.V. 2-4 MG/MN. HINGGA KEJANG STOP ATAU TOTAL 30 MG.
6. INFUS FENITOIN I.V. PELAN ( 24 JAM.
5. TERAPI PROFLAKTIK KONTROVERSI.
LUKA SCALP :
1. CUKUR SEKITAR 3 SM. SEKELILING LUKA.
2. PALPASI HATI-HATI, CARI #.
3. BILA #, JANGAN ANGKAT FRAGMEN, TRANSFER.
4. HEMOSTASIS DAN JAHIT SEGERA.
5. BILA TEPI LUKA BURUK, EKSISI JARINGAN NON VIABEL, JAHIT 2 LAPIS.
CEDERA KEPALA MINOR : GCS 13-15.
RAWAT DAN OBSERVASI :
a. PERNAH KEHILANGAN KESADARAN.
b. TETAP KEBINGUNGAN.
c. 50 TAHUN.
d. ADA ATAU TIMBUL GEJALA NEUROLOGIS FOKAL.
e. NYERI KEPALA HEBAT  MUNTAH.
PULANGKAN CEDERA KEPALA MINOR :
1. TERORIENTASI WAKTU / TEMPAT.
2. TANPA DEFISIT NEUROLOGIS FOKAL.
3. TANPA NYERI KEPALA / MUNTAH.
4. TANPA # TENGKORAK.
5. ADA ORANG YANG BERTANGGUNG-JAWAB UNTUK MENGAWASI.
6. BERIKAN CHECKLIST.
KEMBALI KE R.S BILA :
a. MUNTAH.
b. NYERI KEPALA ATAU PUSING.
c. GELISAH, MENGANTUK, TAK SADAR.
d. KEJANG.
PENGELOLAAN KEPERAWATAN PADA NEUROTRAUMA AKUTA.
1. SURVEY PRIMER :
A. PENGELOLAAN JALAN NAFAS, FIKSASI C.
B. PERNAFASAN DIKONTROL.
C. SIRKULASI DIKONTROL.
D. PENILAIAN NEUROLOGIS :
• PENILAIAN DASAR TERMASUK GCS.
• UKURAN, REAKSI TERHADAP CAHAYA, SERTA EKUALITAS PUPIL.
• PERIKSA GERAK DAN KEKUATAN ANGGOTA.
E. T/N/R/S.
2. PENGELOLAAN KEPERAWATAN.
A. OKSIGEN.
B. ATASI HIPOTENSI.
C. PENILAIAN :
• GCS DAN TANDA VITAL SERIAL.
• LAPORKAN BILA GCS BERKURANG  2.
• LAPORKAN DEFISIT MOTOR; PERUBAHAN UKURAN, EKUALITAS, REAKSI TERHADAP SINAR DARI PUPIL.
D. CAIRAN:
• KATETER BILA TIDAK K.I.
• BALANS CAIRAN
E. TUBE INTRA GASTRIK BILA TIDAK K.I.
F. POSISI :
• C-COLLAR HINGGA DIBUKTIKAN TAK # .
• SETELAH HIPOTENSI TERATASI, ELEVASI KEPALA 15-30.
• TIDAK SADAR TANPA INTUBASI DAN CEDERA SPINAL SUDAH DISINGKIRKAN, RAWAT POSISI LATERAL.
G. PASIEN KONFUSI :
• TERAPI OKSIGEN.
• CEGAH SEDASI.
• PENGAMATAN KETAT.
H. KEBOCORAN CSS, LUKA TERBUKA :
• LAPORKAN SETIAP KEBOCORAN CAIRAN DARI TELINGA/HIDUNG.
• LUKA YANG TIDAK DIJAHIT, TUTUP DENGAN KASSA YANG DIBASAHI SALINE SAAT TRANSFER.
Petunjuk ini digunakan pada RS rural dimana pelayanan medis 24 jam tidak tersedia.
RESUME MENGELOLA CEDERA KEPALA BERAT.
1. AIRWAY + PROTEKSI C-SPINE.
2. BREATHING + OKSIGENASI.
3. ATASI SHOK, KONTROL PERDARAHAN.
4. PERTAHANKAN CAIRAN PASCA RESUSITASI.
5. PERIKSA NEUROLOGIS DINI, TETAPKAN D.K/.
6. CEGAH CEDERA OTAK SEKUNDER.
7. NILAI DAN TINDAK CEDERA NON SEREBRAL.
8. X-RAY/CT BILA K.V SUDAH STABIL.
9. KONSUL DAN TRANSFER SEGERA TERUTAMA PADA CEDERA GANDA SETELAH STABILISASI.
RUJUKAN :
1. The management of acute neurotrauma in rural and remote locations. A set guidelines for the care of head and spinal injuries. The neurosurgical society of Australasia.1992.
2. ATLS. 1997 ed. First Impression. USA.
3. The Practice of Neurosurgery, 10th ed. George T. Tindall ed. Part V2 : Cranial Trauma; Part V3 : Spinal Trauma. Williams & Wilkins, USA, 1999.
4. Neurological Surgery, 4th ed. Youman ed. Part VIII : Trauma. W.B. Saunders, Philadelphia, 1996.
5. Illustated Neurosurgery. Tomio Ohta, ed. Ch. 3 : Head Injury. Kinpodo, Kyoto, 1996. DINI, TETAPKAN D.K/.
6. CEGAH CEDERA OTAK SEKUNDER.
7. NILAI DAN TINDAK CEDERA NON SEREBRAL.
8. X-RAY/CT BILA K.V SUDAH STABIL.
9. KONSUL DAN TRANSFER SEGERA TERUTAMA PADA CEDERA GANDA SETELAH STABILISASI.
RUJUKAN :
1. The management of acute neurotrauma in rural and remote locations. A set guidelines for the care of head and spinal injuries. The neurosurgical society of Australasia.1992.
2. ATLS. 1997 ed. First Impression. USA.
3. The Practice of Neurosurgery, 10th ed. George T. Tindall ed. Part V2 : Cranial Trauma; Part V3 : Spinal Trauma. Williams & Wilkins, USA, 1999.
4. Neurological Surgery, 4th ed. Youman ed. Part VIII : Trauma. W.B. Saunders, Philadelphia, 1996.
5. Illustated Neurosurgery. Tomio Ohta, ed. Ch. 3 : Head Injury. Kinpodo, Kyoto, 1996.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teknik Pemeriksaan Radiografi Sinus Paranasal Caldwell

v   Proyeksi PA Axial ( Cadwell ) n   Posisi Pasien ·          Pasien diposisikan berdiri, lalu bagian tengah tubuh diatur pada pertengahan kaset dan grid . ·          Tempatkan lengan pasien pada posisi yang nyaman dan atur bahu agar terbaring pada bidang transversal yang sama . n   Posisi Objek ·          Sebelum memposisikan pasien, pasanglah grid vertikal dengan penyudutan 15 o . Arahkan CR horizontal sehingga sudut antara tabung (CR) membentuk sudut 75 o ·          Dengan kepala pasien ekstensi, istirahatkan hidung dan dahi pada grid vertikal, letakkan hidung pada pertengahan kaset ·          Atur garis orbitomeatal tegak lurus dengan bidang film ·          Immobilisasikan kepala ·          Minta pasien untuk tahan nafas pada saat eksposi

THORAX Proyeksi LLD

I.  DASAR TEORI Ukuran film : 35×35 cm Posisi Pasien : Pasien diposisikan lateral recumbent diatas meja pemeriksaan dengan sisi kanan atau kiri dekat dengan meja pemeriksaan namun sisi yang dekat dengan meja pemeriksaan diberi bantalan sebagai ganjalan dan lengan difleksikan dan diletakkan diatas kepala pasien sebagai bantal. Posisi Objek : v  Tempatkan permukaan anterior dan posterior thorax mengikuti kaset vertical v  Atur kaset dan tempatkan salah satu tepinya kira-kira 5 cm diatas bahu v  Sisi lateral tubuh diberi bantal v  Tubuh pasien true lateral dan kedua lutut fleksi untuk menjaga keseimbangan v  MSL garis tengah kaset v  Lindungi gonad v  Instruksikan pasien untuk inspirasi penuh lalu tahan nafas selama Central Ray :  Horizontal tegak lurus film Central Point :  Pada pertengahan sternum, setinggi thoracal ke-7 FFD :  150 cm

Thorax proyeksi LLD/RLD

INDIKASI & TUJUAN PEMERIKSAAN Indikasi pemeriksaan pada Thorax proyeksi LLD/RLD yaitu untuk melihat dan mengetahui struktur dan anatominya. Selain itu untuk melihat adanya klinis yaitu LLD: Pneumonia Thorax kanan dan Pleural Effusion kiri & RLD: Pneumonia Thorax kiri dan Pleural Effusion kanan. III. ALAT DAN BAHAN 1. Pesawat Radiologia kapasitas 250 mA. 2. Kaset dan Film ukuran 30×40 cm. 3. Phantom Thorax (putih). 4. Marker L/R dan labeling. 5. Alat bantu: Gabus, dan aki. 6. Automatic Processing. IV. TEKNIK RADIOGRAFI 1. Menyalahkan peswat Radiologia kapasitas 250 mA. 2. Mengatur faktor eksposi. 3. Masuk keruang pemeriksaan. 4. Meletakkan kaset pada stand kaset. 5. Mengatur lampu kolimator dimana pertengahan lampu kolimator berada pada pertengahan kaset dengan FFD 150 cm, sehingga CR Horizontal tegak lurus. 6. Mengatur posisi phantom yaitu Lateral dengan posisi decubitus dimana bagian post